IHSG Alami Senin Kelam, Bagaimana dengan Indeks Saham di Negara Lain?
Oleh
Rabu, 7 Agustus 2024 20:36 WIB
Pekerja melintas di dekat layar digital yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat 28 Juni 2024. TEMPO/Tony Hartawan
Nilai indeks saham di bursa efek berbagai negara serempak jatuh pada Senin, 5 Agustus 2024. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mencatat perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) juga tidak ketinggalan. Kejatuhan harga saham secara global yang terjadi pada hari Senin tersebut mengingatkan pada fenomena serupa di tahun 1987, yang dikenal sebagai Black Monday atau Senin kelam.
IHSG menutup perdagangan pada hari Senin di level 7.059,65 atau melemah 3,38 persen. Bahkan, IHSG sempat berada di titik terlemahnya pada level 6.998,81. Penurunan hingga hampir empat persen tersebut merupakan salah satu yang terdalam setelah masa pandemi Covid-19. Setelah pandemi, IHSG juga sempat menurun 4,42 persen pada Mei 2022.
Kejatuhan harga saham juga dialami di negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Korea Selatan. Bahkan indeks harga saham di Jepang (TOPIX) dan Korea Selatan (KOSPI) mengalami pelemahan yang lebih tajam dibanding IHSG, yakni masing-masing 12,23 persen dan 8,77 persen. Penurunan harga drastis tersebut membuat dua bursa efek tersebut menerapkan pemutus sirkuit (circuit breakers) untuk menghentikan sementara perdagangan.
Apa Penyebabnya?
Kejatuhan harga saham di berbagai indeks saham tidak terlepas dari kondisi global dan domestik. Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Nafan Aji Gusta Utama, membeberkan sejumlah faktor pelemahan IHSG serta bursa efek lainnya hari ini. Yakni penurunan indeks manufaktur Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur, kelesuan pasar tenaga kerja AS, ketegangan geopolitik, hingga perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II.
Berdasarkan data S&P Global, PMI manufaktur Indonesia pada Juli 2024 mengalami kontraksi menjadi 49,3. Pada bulan sebelumnya, PMI manufaktur Indonesia berada di level 50,7. Menurut Nafan, hal ini menandakan potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi global, termasuk Indonesia.
Kelesuan juga menimpa dunia ketenagakerjaan AS yang ditandai dengan penurunan perubahan bulanan angka pekerja swasta nonagraris (nonfarm payroll) di negara tersebut. Berdasarkan data yang dirilis Biro Statistik Ketenagakerjaan AS, jumlah pekerja swasta nonagraris bulan Juli hanya tumbuh 114 ribu dari prediksi sebanyak 176 ribu. Selain itu, tingkat pengangguran di Negeri Abang Sam juga terus merangkak naik. Hal tersebut memberi peringatan pada investor bahwa ekonomi di negara tersebut terancam masuk kondisi resesi.
Sentimen luar negeri yang turut berpengaruh adalah dinamika geopolitik di kawasan Timur Tengah. Selain itu, keputusan Bank Sentral Jepang menaikkan suku bunga sehingga menguatkan nilai tukar yen terhadap dolar AS juga membuat para investor kelabakan.
Dari dalam negeri, sentimennya adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2024 hanya 5,05 persen secara tahunan. Artinya, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II turun dibandingkan kuartal I yang mencapai 5,11 persen.