Terjebak Mendung Bumi Seulawah

Edisi: 47/32 / Tanggal : 2004-01-25 / Halaman : 60 / Rubrik : KSH / Penulis : , ,

KE mana perginya lelaki itu? Kemana perginya dua tangan perkasa itu? Berjuta-juta pertanyaan bagai palu godam menggempur pusat jantung Zarkani (nama disamarkan demi keselamatan), penduduk Kecamatan Blang Mangat, Aceh Utara. Berjuta pertanyaan yang mustahil terjawab dengan terang benderang. "Sudah matikah ayahku? Bila sudah, tunjukkan di mana kuburnya," Zarkani terus melontarkan tanya dengan pandangan kosong.

Lima belas tahun Zarkani--kini dia sudah 35 tahun--senantiasa melontarkan pertanyaan yang sama. Kewarasan lelaki yang berperawakan tinggi gagah ini pun melayang karenanya. Suatu kali, dia berenang di kubangan darah hewan kurban yang disembelih di halaman masjid sambil berteriak, "Ini darah ayahku." Kali lain, dia membuat gundukan di halaman rumah dan ditaruhnya batu nisan di atasnya. "Ini makam ayahku," tuturnya.

Ibunya, Aisyah (juga bukan nama sebenarnya), tak sanggup menahan air mata setiap kali Zarkani bertanya. Pekan lalu, perempuan ini menuturkan asal-muasal putranya yang tampan itu jadi kehilangan akal. Ketika itu, tahun 1989, ayah Zarkani, Abdullah (lagi-lagi nama samaran), dipanggil ke markas TNI (ketika itu masih ABRI) di kawasan Krueng Pase, Aceh Utara. Pemerintah Orde Baru saat itu sedang mulai menetapkan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM).

Hari, minggu, bulan, musim, tahun berlalu, Abdullah tidak pernah kembali ke rumah. Sementara itu, Zarkani terus menanti sang ayah, hidup atau mati. Zarkani rajin berlari menghampiri setiap lokasi temuan mayat--yang memang kejadian lazim di zaman DOM--untuk mencari tahu…

Keywords: -

---

Foto Terkait