Sepanjang Jalan Kutipan

Edisi: 35/35 / Tanggal : 2006-10-29 / Halaman : 94 / Rubrik : LIPSUS / Penulis : Dharmasaputra, Metta, Setyarso, Budi, Susanto, Heri

PERGANTIAN tahun memberikan kenangan pahit buat Mukti Ichsan. Baru saja 2006 melangkah dalam hitungan hari, truk kontainer yang membawa kayu jati milik pengusaha mebel itu disetop polisi, tak jauh dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Sopir mengulurkan lembaran uang sepuluh ribuan. Eh, alih-alih urusan beres, sang polisi malah menyuruh sopir menelepon pabrik mebel milik Mukti di Solo, meminta "upeti" lebih tebal. Jika tidak, truk akan dibawa ke Kepolisian Daerah Jawa Timur untuk diperiksa.

Pria yang menetap di Ponorogo itu kaget. Tiga puluh tujuh tahun jadi pengusaha mebel, baru kali ini ia diperas dengan cara seperti itu. "Kalau pungutan yang kecil-kecil, sih, sudah biasa, tapi yang ini...," pria 67 tahun itu menghela napas. Padahal, surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH) yang dikantongi sopir truk--sebagai dokumen sah pengangkutan kayu--sudah lengkap.

Namun polisi tadi tetap menggertak. Mukti paham, bila diladeni, urusan bertele-tele. Sedangkan kayu 20 meter kubik yang dipesannya dari Kendari, Sulawesi Tenggara, itu harus segera masuk pabrik. Ekspor ke Eropa tak boleh meleset. Bila telat, ia kena denda satu persen per hari dari nilai barang. Ketimbang rezeki ekspor berkurang, Mukti "merelakan" Rp 11 juta masuk kantong polisi. "Anggap saja musibah," katanya.

Menurut Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo), banyak pengusaha mebel bernasib serupa. "Polisi suka mencari-cari celah," kata Chilman Suaidi,…

Keywords: -

---

Foto Terkait