Nurcholish Madjid: "saya Akan Pasif Saja"
Edisi: 09/32 / Tanggal : 2003-05-04 / Halaman : 118 / Rubrik : WAW / Penulis : Lebang, Tomi, Zulkifli, Arif,
CENDEKIAWAN berumah di atas awan? Kali ini Nurcholish Madjid, lelaki dengan beragam predikat itu, tampaknya turun ke bumi. Di masa lalu, pada saat-saat genting negeri ini gonta-ganti presiden, dia selalu menolak dicalonkan, tapi kini ia mulai goyah untuk hanya duduk di atas awan dan mengatakan dalam pemilihan 2004 "saya akan pasif saja." Maklum, begitu banyak pinangan dari berbagai partai besar dan partai kecil yang penting, sementara negara ini sudah kehilangan kepemimpinan yang beres. Tentu sulit untuk tidak tersedot pada sosok yang jujur ini.
Dia adalah satu dari sedikit makhluk langka di Indonesia yang terkenal dengan keteguhannya memegang prinsip, lurus, tidak maniak dalam arus perebutan kekuasaan, dan menempatkan dirinya sebagai guru dan tempat bertanya berbagai kelompok dan kalangan masyarakat.
Pada awal Orde Baru, Nurcholish Madjidâakrab dipanggil Cak Nurâmasuk dengan gerakan pembaruan Islam. Bersemboyan "Islam yes, partai Islam no," Cak Nur menganggap semua yang vital untuk manusia itu diberikan oleh Allah secara gratis. Udara, air, gratis. Islam yang vital bagi manusia, oleh karena itu, juga gratis. Di masa itu, seakan-akan banyak orang yang merasa tidak pantas menyebut-nyebut Islam kalau mereka bukan anggota partai Islam. Gerakan Islam kultural kemudian dicanangkan Cak Nur.
Nurcholish Madjid, bersama tokoh-tokoh lain, juga dalam catatan sejarah dianggap menjadi sosok yang berperan di balik kemunduran Soeharto. Tanpa tedeng aling-aling, Cak Nur saat itu mengatakan kepada Soeharto bahwa yang diinginkan rakyat Indonesia adalah Soeharto mundur.
Nurcholish lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939. Ayahnya, K.H. Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, Rektor Universitas Paramadina ini menempuh studi kesarjanaan di IAIN Jakarta. Pada 1978, tokoh Himpunan Mahasiswa Islam ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat, dengan disertasi tentang filsafat dan khalam Ibnu Taimiyah.
Saat Sidang Umum MPR pada Oktober 1999 berlangsung, Nurcholish Madjid menolak diunggulkan menjadi calon Presiden RI 1999-2004. Cak Nur juga menolak tawaran mantan presiden Soeharto untuk duduk di Komite Reformasi.
Kini, setelah Pemilu 2004 makin mendekat, alumni Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam IAIN (kini Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini kembali santer disebut sebagai salah satu calon presiden yang diusulkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), meski masih dalam perdebatan. Sampai saat ini, PKB belum memutuskan calonnya. Tomi Lebang dan Arif Zulkifli dari TEMPO mewawancarainya di Universitas Paramadina Mulya. Berikut ini petikannya.
Mengapa Anda meminta Megawati tidak lagi mencalonkan diri sebagai presiden?
Sebetulnya saya tidak dengan tegas menganjurkan supaya Mbak Mega tidak maju sebagai presiden lagi. Itu hanya seandainya. Mbak Mega dulu berniat hanya…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…