Mencari Presiden Di Masa Pancaroba

Edisi: 44/32 / Tanggal : 2004-01-04 / Halaman : 28 / Rubrik : LIPSUS / Penulis : M., Wahyu , Wijayanta, Hanibal W. Y. ,

SEORANG ibu berjilbab dengan serentetan aksesori manik-manik pirus duduk di kursi tua. Raut mukanya bersimbah peluh. Dari balik tas kecilnya, tersembul tape digital mungil yang sudah diprogram suara Imam Besar Masjidil Haram—katanya, "sebagai obat suntuk berjam-jam menunggu." Seorang pejabat kehakiman ikut pula mendengarkan sambil melontarkan keluhan: capek lembur hingga dini hari, dan saban hari membubuhkan 9.000 tanda tangan.

Kesibukan di malam Natal itu bukan terjadi di Mekah, melainkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di situlah, ratusan orang yang siap menjadi anggota Dewan—dari pusat hingga daerah—terdengar riuh dengan antrean mengular menunggu giliran dipanggil. Mereka mengurus segepok surat sebagai calon legislatif, di pengadilan, juga kepolisian. Mereka siap "bertarung" memperebutkan suara dan kursi pada pemilu yang tinggal sekitar 100 hari lagi.

Kenduri demokrasi itu bakal mencapai klimaks saat pemilihan presiden. Baru kali ini terjadi, sejak Republik merdeka, pemilihan dilakukan secara langsung tiga bulan setelah parlemen pilihan rakyat terbentuk. Lalu, siapa presiden yang mampu memenuhi harapan rakyat?

Sebuah kesimpulan menarik bisa disimak dari The Asia Foundation. Awal Desember lalu, mereka memaparkan hasil penelitian yang digelar di 32 provinsi. Hasilnya, lebih dari separuh calon pemilih dalam Pemilu 2004 ingin kepemimpinan nasional yang kuat, yang mampu memulihkan ketertiban. Menurut Sandra Hamid, Manajer Program Pemilu The Asia Foundation, mayoritas responden bahkan bersedia kehilangan sejumlah hak dan kebebasannya demi pemerintahan yang kuat itu.

Mereka tak segan-segan menyebut bekas presiden Soeharto sebagai figur idola. Namun, kata…

Keywords: -

---

Foto Terkait