Ahmad Syafi’i Ma’arif: ”radikalisme Agama Adalah Bunuh Diri”

Edisi: 40/31 / Tanggal : 2002-12-08 / Halaman : 46 / Rubrik : WAW / Penulis : Nugroho, Heru C. , Fadjri, Raihul ,


DALAM satu hal, Ahmad Syafi’i Ma’arif selalu hidup dengan pemahaman dan batasan yang jelas: kapan dia harus bersama dan kapan dia harus bersimpangan jalan dengan kelompok Islam ”garis keras”. Dia menentang radikalisme. Tapi dia lebih menentang jika label garis keras menjadi alasan untuk menyeret seseorang dalam sebuah tuduhan subversif—sebelum ada pembuktian yang jelas. Maka tak mengherankan tatkala banyak orang mungkin berancang-ancang mengambil jarak dari Ustad Abu Bakar Ba’asyir—Ketua Pondok Pesantren Ngruki, Solo—menyusul penetapan dirinya dalam kasus peledakan bom Natal 2000 dan rencana pembunuhan Presiden Megawati, Syafi’i, Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah ini, menunjukkan dukungannya secara terbuka kepada sang Ustad.

Di media massa cetak dan elektronik, Syafi’i dengan terbuka menyatakan, harus benar-benar ada bukti konkret, dan Umar al-Faruq harus didatangkan sebelum berbagai tuduhan seram itu dialamatkan kepada Ba’asyir:”Kami berbeda, tapi sesama muslim kami tetap bersaudara,” katanya.

Bukan rahasia lagi bahwa Syafi’i kerap bergesekan dengan kelompok-kelompok garis keras. Jauh pada tahun 1980-an, misalnya, Syafi’i pernah diajak bergabung dengan kelompok Sudirman (Masjid Sudirman, Yogyakarta, tempat berkumpul kelompok Islam yang disebut-sebut militan). Syafi’i menolaknya. Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang dipimpin Ba’asyir pernah juga meminta dia mendukung perjuangan mereka untuk memasukkan Piagam Jakarta, yaitu tentang penerapan syariat Islam ke dalam Undang-Undang Dasar 1945. Syafi’i juga menolaknya.

Sikap yang moderat itu membawa konsekuensi tersendiri: sering Syafi’i dituding lembek dan lamban oleh kelompok-kelompok radikal. Tapi hal itu bukan masalah baginya, karena Syafi’i mengaku memiliki keyakinan sendiri: radikalisme, dalam jangka panjang, sama saja dengan bunuh diri. Sebaliknya, sikap moderat adalah hasil dari proses belajar yang lama.

Kepada TEMPO, Syafi’i menegaskan bahwa paham radikal dan militan yang berkembang di Indonesia ini membuatnya prihatin—walau dia mengakui bahwa tumbuhnya kubu garis keras itu juga akibat represi dari pemerintah sebelumnya. Suasana ini, menurut Syafi’i, bisa terus bertumbuh karena pemerintahan yang sekarang mulai ikut menekan, misalnya dengan menyatakan Jamaah Islamiyah sebagai bagian dari terorisme internasional.

Untuk itu, Syafi’i mengajak K.H. Yusuf Hasyim, Pemimpin Pondok Pesantren Tebu Ireng, untuk mengadakan pertemuan antara kubu militan dan moderat, setelah Hari Raya Idul Fitri pada Desember nanti. Lahir di pedalaman Sawahlunto, Sumatera Barat, Syafi’i sudah kehilangan ibunya sejak berusia 18 bulan. Pendidikan dasarnya dia selesaikan di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah di Sumpurkudus. Dia terlibat dalam kegiatan organisasi Islam Muhammadiyah sejak masih belia. Bahkan Syafi’i mengakui, karena Muhammadiyah, dia bisa kuliah di Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto, Yogyakarta. ”Muhammadiyah bagi saya adalah kekuatan pembebas. Sumber inspirasi untuk membentuk manusia merdeka,” ujar Syafi’i.

Kemerdekaan dalam berpikir ini semakin mewarnai keislaman Syafi’i, ketika dia kuliah di Ohio University dan Chicago…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…