Bila Konglomerat Merambah Bisnis Media
Edisi: 12/32 / Tanggal : 2003-05-25 / Halaman : 94 / Rubrik : LIPSUS / Penulis : Dewanto, Nugroho , Yasin, Ali Nur,
PERKEMBANGAN media massa lima tahun terakhir ini benar-benar menakjubkan. Angin kebebasan yang bertiup setelah pengunduran diri Presiden Soeharto telah menjadi motor pendorong utama. Hal ini langsung terlihat pada lonjakan jumlah media cetak ketika B.J. Habibie berkuasa. Dalam periode awal transisi itu (1998-1999), media yang paling banyak diterbitkan pengusaha pers adalah tabloid. Biaya produksinya tidak terlalu besar. Jumlah wartawan yang diperlukan juga tidak banyak. Selain itu, tabloid cenderung bersemangat pamflet, sehingga paling cocok menyuarakan gejolak perubahan waktu itu. Karakter bisnisnya yang bersifat hit and run juga ikut menunjang.
Namun, memasuki tahun 2000, pamor tabloid meredup dengan cepat. Satu per satu tabloid lenyap dari peredaran, tanpa kabar berita atau pemberitahuan. Ada dua penyebabnya: tabloid nyaris tidak mendapat iklan, sedangkan minat pembaca mulai berpindah ke media yang diolah secara berkualitas. Seiring dengan itu, kaum pemilik modal pun mengalihkan perhatian dan uangnya ke media elektronikâseperti televisi dan radio.
Tentang bulan madu antara media cetak dan perubahan politik ini, Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) memiliki catatan kecil. Dari situ diketahui, sebelum reformasi, di seluruh Indonesia cuma ada 289 media cetak. Tapi, setelah pemerintah memudahkan pengurus- an surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP), jumlah izin melonjak hingga di atas 2.000 lembar. Sedangkan untuk televisi, ada lima izin baru yang diterbitkan.
Namun euforia kebebasan pers rupanya tak selalu setarikan napas dengan kemampuan mengelola bisnis. Sejumlah media cetakâbeberapa di antaranya dari penerbitan ternamaâbelakangan mulai megap-megap. Yang lain bahkan sudah gulung tikar atau terpaksa menjual mayoritas sahamnya kepada pihak lain.
Ada juga media yang memang sengaja terbit âseumur jagungâ, konon dimaksudkan untuk sekadar membela kepentingan politik satu-dua kelompok yang sedang berkuasa. Tapi kebanyakan mati karena tak laku dijual alias tak mampu menghadapi ketatnya persaingan bisnis. Nasib mereka mengingatkan kita pada sepenggal bait syair Chairil Anwar yang terkenal ini: âSekali berarti sudah itu mati.â
Jenis media cetak yang paling banyak tutup adalah media politik. Ini tentu erat kaitannya dengan animo pembaca yang berpaling ke ufuk lain, terutama karena capek dan…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Merebut Kembali Tanah Leluhur
2007-11-04Jika pemilihan presiden dilakukan sekarang, megawati soekarnoputri akan mengalahkan susilo bambang yudhoyono di kota blitar.…
Dulu 8, Sekarang 5
2007-11-04Pada tahun pertama pemerintahan, publik memberi acungan jempol untuk kinerja presiden susilo bambang yudhoyono. menurut…
Sirkus Kepresidenan 2009
2007-11-04Pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit, email membawa informasi dari kakak saya. dia biasa menyampaikan bahan…