Amartya Sen: "di Indonesia, Mereka Yang Tertindas Kehilangan Suaranya"

Edisi: 40/30 / Tanggal : 2001-12-09 / Halaman : 80 / Rubrik : IQR / Penulis : , ,


CAMBRIDGE, ratusan kilometer sebelah timur London, suatu siang di bulan Oktober. Jam pasir di halaman kampus Trinity College menunjukkan pukul 11 ketika pria supersibuk itu meninggalkan ruang rapat sebelum waktunya. "Maaf," katanya menyambut TEMPO, "saya hanya punya waktu sedikit untuk wawancara."

Amartya Sen, pemenang Nobel 1998, orang yang mengabdikan hampir seluruh pemikirannya untuk orang miskin, tampak sangat sederhana. Kemejanya tanpa dasi atau jas pelapis. Celana korduroi hijau lumut yang dikenakannya memang belum kelihatan usang, tapi terlampau tawar untuk ukuran seorang gentleman London.

Sen memang bukan orang Inggris. Ia lahir di Santiniketan, India, tapi menghabiskan sebagian besar masa dewasanya di Inggris dan Amerika Serikat. Memandang wajahnya yang rapuh dan jalannya yang terbungkuk, sulit membayangkan lelaki 68 tahun ini terbang mengelilingi separuh dunia setiap dua bulan. Selain di Cambridge, ia harus memberikan kuliah di Universitas Harvard, AS, dan Universitas New Delhi, India.

Menjawab pertanyaan TEMPO di ruang tunggu Rektor Trinity College, salah satu kampus tertua di Cambridge, Sen tampak tenang, hampir tanpa ekspresi. Meskipun begitu, rektor gaek ini tak mau kehilangan gaya. Ketika mau difoto, ia pasang aksi: memakai jas, memandang ke luar jendela, menenteng buku.

Di luar jendela, awal musim gugur sedang memamerkan tamasya romantiknya. Daun-daun seperti mengikat janji untuk berangkat tua bersama, kemudian terbang terbawa angin. Matahari kuning dan hangat, seperti ingin menampakkan pesonanya yang terakhir sebelum ditelan musim dingin. Dinding-dinding tua yang dipenuhi tanaman rambat, boleh jadi, akan bisa sejenak menenangkan pergulatan pikiran Sen dari dunia penuh sampah.

Mengapa tak kembali ke India? Lelaki datar dan serius itu tiba-tiba tertawa—satu-satunya tawa dalam wawancara singkat ini. "Di sini, saya bisa mendapatkan uang untuk membeli tiket pesawat ke mana-mana, juga ke India," katanya kepada Arif Zulkifli, yang terbang ke Inggris untuk menemuinya, Oktober lalu. Berikut ini petikannya.

Anda mengaitkan bencana kelaparan dengan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

D
Dan Sang Guru Berkata...
2004-04-18

Novel filsafat sophie's world menjadi sebuah jendela bagi dunia untuk melihat dunia imajinasi dan edukasi…

E
Enigma dalam Keluarga Glass
2010-04-11

Sesungguhnya, rangkaian cerita tentang keluarga glass adalah karya j.d. salinger yang paling superior.

T
Tapol 007: Cerita tentang Seorang Kawan
2006-05-14

pramoedya ananta toer pergi di usia 81 tahun. kita sering mendengar hidupnya yang seperti epos.…