Jakarta Menguak Sinema Korea

Edisi: 37/30 / Tanggal : 2001-11-18 / Halaman : 80 / Rubrik : LAY / Penulis : , ,


Bagi penonton Jakarta, film Chunyang, yang penuh sesak ditonton selama Jakarta International Film Festival, mengingatkan pada satu hal: kekuatan tradisi teater rakyat. Jakarta memiliki wayang suket, dan Korea memiliki panshori. Inilah fim-film Korea pilihan TEMPO yang ditonton dalam Festival Film Asia Pasifik akhir Oktober silam, Jakarta International Film Festival, juga Pusan International Film Festival, yang kini masih berlangsung.

* Festival Warna dalam Festival

FILM Chunyang tampil dalam warna dan gambar yang fotografis. Disajikan dalam bentuk teater rakyat dengan seorang dalang yang fasih dan cakap, inilah film Korea yang dipuji di panggung internasional.

WAHAI daun-daun dan bunga, dengarkanlah sebuah dongeng tentang cinta. Marilah kita terbang bersama angin menuju suatu masa di abad ke-13, ketika dinasti Chosun dan seperangkat peraturannya menghalangi sebuah cinta sejati. Adalah Chongsun, sang gadis jelita, yang terbang dengan lambaian baju merah di atas ayunan itu, men-capai langit, menanggapi hati Mongryong hanya pada detik pertama pandangannya. Namun, mungkinkah Chongsun—anak seorang gundik bangsawan—dan Myongryong, anak dari keluarga bangsawan yang menjabat sebagai gubernur, disatukan? Undang-undang mengatakan: jika ibunya seorang gundik, anaknya pun ditakdirkan menjadi gundik.

Alangkah buruknya nasib yang sudah ditentukan jauh se-belum ia dilahirkan. Namun, Chongsun adalah perempuan istimewa. Dia hidup untuk satu cinta. Dia bersedia menikah dengan Myongryong dengan sumpah setia agar Myongryong hanya setia padanya. Myongryong, tentu saja, yang jatuh cinta padanya, bersedia bersumpah setia.

Film pertama Korea yang lolos untuk berkompetisi di Festival Film Cannes ini bukan hanya menampilkan kedahsyatan gambar—adegan demi adegan yang panoramik dan kaya akan permainan warna—tetapi juga format yang unik yang menggunakan teknik teater rakyat, tempat kisah ini diutarakan oleh seorang dalang dan seorang penabuh perkusi. Di atas panggung, sang dalang berkisah dengan kipas di tangan dan suara yang melengking tentang kisah cinta yang terlarang itu.

Alur cerita yang agak mirip Roro Mendut-Pronocitro dan Romeo-Juliet ini menarik karena sosok Chunyang tidak tampil sebagai seorang perempuan yang tak kunjung menyerah melawan peraturan-peraturan yang mengekang perempuan. Tetapi, lebih menarik lagi, selain adegan-adegan yang fotografis—bercinta telanjang diatas karpet dedaunan merah di musim gugur, berjalan di bawah angin menderu dan tetes hujan untuk mencari penjara yang menyekap Chunyang, dan warna-warni kostum Korea yang mencolok—sosok dalang dan para penontonnya yang saling berselingan dengan adegan dongeng cinta ini menjadikan film itu sebagai sebuah festival gambar yang sungguh meriah.

Sutradara Im Kwon Taek (lahir tahun 1936) adalah sutradara kawakan yang sudah terlibat dalam 100 buah film dan pernah menerima Kurosawa Life Time Achievement Award dalam San Francisco Film Festival pada 1996. Dengan film-filmnya yang hampir selalu mendapatkan penghargaan di berbagai festival internasional, sutradara yang memiliki mata yang fotografis ini telah menciptakan sebuah festival di dalam festival film ini.

CHUNYANG
Sutradara: Im Kwong Taek
Skenario: Kim Myoung-Kon
Pemain: Yi Hyo-Jeong, Cho Seoung-Woo
Produksi: Taehung Pictures

***

Darah di Pucuk Takhta

Persaingan kekuasaan di Kerajaan Korea abad ke-18 tampil dalam suspens yang menggigit.

AGI diawali dengan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Saat Perempuan Tak Berdaya
2007-12-16

Tidak ada senyum, apalagi keceriaan. tidak ada pula musik yang terdengar di film ini. dari…

P
Perjamuan Da Vinci
2006-05-28

Bermula dari novel, lalu bermetamorfosis ke dalam film. di kedua bentuk itu, the da vinci…

Y
YANG KONTROVERSIAL
2006-05-28

Dan brown mengemukakan teori bahwa yesus mempercayai maria magdalena sebagai pemangku ajaran kristiani yang utama,…