Kayu Haram Dari Jantung Kalimantan

Edisi: 34/31 / Tanggal : 2002-10-27 / Halaman : 63 / Rubrik : INVT / Penulis : Kleden, Hermien Y.


JARI manis wanita muda itu sudah sulit dipasangi cincin. Ruas jari itu cacat, melengkung ke atas saban kali telapaknya ditelungkupkan di atas meja. Di ruang rapat TEMPO dua pekan silam, Faith Doherty, penyelidik senior dari Environmental Investigation Agency, sebuah biro investigasi lingkungan yang bermarkas di London, bercerita bagaimana dia memperoleh cacat itu. Di lantai dua kantor pusat PT Tanjung Lingga Group, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, dua tahun silam, dia disiksa.

Doherty menyebut dua nama yang bertanggung jawab atas kekerasan itu: Sugianto dan Abdul Rasyid.

Sebelum Doherty, datang berkunjung ke TEMPO seorang pria dengan empat jari tangan kirinya terpotong, menyisakan hanya jempol yang tak lagi utuh. Dialah Abi Kusno Nachran, wartawan Lintas Khatulistiwa—sebuah tabloid lingkungan. Jari di tangan kanannya utuh, tapi sekujur lengannya menyimpan bekas luka.

Abi menyebut dua nama yang bertanggung jawab atas kekerasan itu: Sugianto dan Abdul Rasyid.

Ini bukan hanya kisah tentang jari yang terpenggal seperti dalam film kekerasan ala mafia. Baik Doherty maupun Abi berkisah tentang betapa besar risiko mereka yang ingin menyelamatkan hutan Indonesia dari ambang kepunahan akibat pencurian kayu liar besar-besaran.

Abdul Rasyid bukan seorang ”don” seperti dalam film The Godfather—setidaknya dalam kehidupan sosial dan politiknya yang terhormat. Dia duduk di Majelis Permusyaratan Rakyat dalam Fraksi Utusan Daerah, mewakili Provinsi Kalimantan Tengah. Di kota kelahirannya, Pangkalan Bun, orang mengenalnya sebagai anggota Partai Golkar yang terpandang.

Tak hanya itu. Berusia 44 tahun, dia juga seorang pengusaha sukses. Perusahaan miliknya, Tanjung Lingga Group, menjulurkan guritanya hingga Surabaya, Jakarta, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan. Usahanya meliputi bisnis pengusahaan hutan ke perkebunan, konstruksi, pelayaran, hingga perbankan.

Rasyid juga dikenal sebagai orang yang murah hati membuka peti kasnya untuk urusan derma. Dia mendirikan panti jompo, menyantuni universitas di Palangkaraya, mendanai beberapa koran lokal, bahkan mempercantik kantor-kantor polisi setempat. ”Dia penyumbang terbesar untuk Partai Golkar di Kalimantan,” kata salah seorang kawan dekatnya kepada TEMPO.

Adapun Sugianto, 28 tahun, adalah keponakan Rasyid yang kini menjadi Presiden Direktur Tanjung Lingga. Dia orang kepercayaan Rasyid.

Dermawan. Terhomat. Sukses. Tapi mengapa nama Rasyid muncul dalam laporan-laporan resmi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat tentang pencurian kayu di Taman Nasional Tanjung Puting yang dilindungi? Mengapa dia dijuluki ”Raja” dan orang Pangkalan Bun seperti tercekik ketakutan tatkala TEMPO sekadar bertanya, ”Apa betul Abdul Rasyid seorang bos pencuri kayu”?

Pada awal 2000, Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan dan Perkebunan (waktu itu)…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

M
Muslihat Cukong di Ladang Cepu
2008-01-13

Megaproyek pengeboran di blok cepu menjanjikan fulus berlimpah. semua berlomba mengais rezeki dari lapangan minyak…

T
Terjerat Suap Massal Monsanto
2008-02-03

Peluang soleh solahuddin lolos dari kursi terdakwa kejaksaan agung kian tertutup. setumpuk bukti aliran suap…

H
Hijrah Bumi Angling Dharma
2008-01-13

Blok cepu membuat bojonegoro tak lagi sepi. dari bisnis remang-remang hingga hotel bintang lima.