Merdeka, Tanpa Pemimpin

Edisi: 24/30 / Tanggal : 2001-08-19 / Halaman : 22 / Rubrik : LIPSUS / Penulis : , ,


Berbagai organisasi sosial-politik yang mestinya bisa menjadi kancah penggodokan pemimpin terbukti mandul. Sementara itu, partai politik--institusi yang paling absah melahirkan pemimpin nasional karena dipilih langsung oleh rakyat--juga belum mampu meyakinkan hati publik. Akibatnya, banyak orang yang memimpikan intelektual, tokoh agama, atau bahkan militer untuk kembali memimpin bangsa ini.

Kita butuh pemimpin kaliber besar. Namun, kerinduan kita yang berlebihan pada pemimpin yang kuat dan serba bisa itu mungkin hanya berakhir dengan meniadakan mereka sama sekali.

ABDURRAHMAN Wahid masih presiden resmi. Dia masih dianggap presiden, setidaknya oleh masyarakat Nahdlatul Ulama di sebagian kota Jawa Timur. Tapi, faktanya, Indonesia telah kehilangan seorang pemimpin nasional. Abdurrahman Wahid pernah dipandang sebagai seorang demokrat sejati. Dia juga seorang yang dua tahun lalu dengan dukungan luas sempat dipandang mampu memecahkan persoalan bangsa ini.

Melalui drama tanpa darah, bersama Abdurrahman Wahid pergi pula salah satu harapan besar bahwa Indonesia segera bisa keluar dari krisisnya. Harapan itu terbukti kosong belaka. Tak hanya itu. Kontroversi tentang dekrit dan sidang istimewa, serta perseteruan presiden versus parlemen yang mendahului kejatuhannya, hampir-hampir telah membuat sirna kepercayaan orang terhadap demokrasi dan mempertebal rasa muak orang terhadap politik.

Benarkah kita membutuhkan sistem demokratis? Atau kita semestinya menengok negeri tetangga, Malaysia dan Singapura misalnya?

Perdana Menteri Mahathir Mohamad dan mantan perdana menteri Lee Kuan Yew telah mengantarkan kemakmuran bagi negerinya, meski dengan pemerintahan yang sering dikritik bertangan besi. Tidakkah kita membutuhkan pemimpin kuat yang sama? Dan tidakkah tiga tahun lalu kita telah keliru menyeret Soeharto turun, seorang pemimpin yang setara dengan Mahathir dan Yew, tapi lebih diktatorial karena dukungan militer yang masif?

Pada akhir dasawarsa 1980-an, seorang sastrawan terkemuka Filipina, Sionel Jose, risau melihat pemerintahan Corazon Aquino yang rapuh meski naik berkat legitimasi dan harapan besar people's power. Dia mengatakan, "Kita ternyata membutuhkan seorang (Ferdinand) Marcos, seorang diktator, tapi yang bukan maling."

Indonesia tak pelak lagi membutuhkan pemimpin yang kuat untuk bisa menyelesaikan krisisnya yang multidimensional. Namun, yang kita temui sekarang, bahkan dengan naiknya Presiden Megawati Sukarnoputri plus dukungan penuh Ketua MPR Amien Rais sekalipun, justru satu krisis baru lagi: krisis kepemimpinan nasional.

Menghadapi kesulitan hidup sehari-hari, melambungnya harga-harga, serta hancurnya "hukum dan ketertiban", orang-orang di jalanan makin tak sabar. Jika mungkin, banyak orang mulai berpikir, jika saja tidak…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

M
Merebut Kembali Tanah Leluhur
2007-11-04

Jika pemilihan presiden dilakukan sekarang, megawati soekarnoputri akan mengalahkan susilo bambang yudhoyono di kota blitar.…

D
Dulu 8, Sekarang 5
2007-11-04

Pada tahun pertama pemerintahan, publik memberi acungan jempol untuk kinerja presiden susilo bambang yudhoyono. menurut…

Sirkus Kepresidenan 2009
2007-11-04

Pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit, email membawa informasi dari kakak saya. dia biasa menyampaikan bahan…