Sayup-sayup Suara Tayub
Edisi: 18/32 / Tanggal : 2003-07-06 / Halaman : 75 / Rubrik : SEL / Penulis : Riyanto, Agus S., Maksum, Dwijo U., Amin, Syaiful
UDARA kemarau di Desa Kemiri, Jepon, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, terasa memanggang. Namun sengatan panas matahari tak menyurutkan langkah warga untuk berduyun-duyun datang ke balai desa. Sekitar 500 orang tumplek di sana, pada suatu siang dua pekan lalu, untuk menyaksikan upacara sedekah bumi sebagai rasa syukur atas keberhasilan panen tahun ini. Keriuhan penonton dan orang berjualan yang bertabrakan dengan bunyi gamelan membuat desa tersebut benar-benar terasa hidup.
Hanya sebentar upacara yang dijejali dengan doa berlangsung. Lalu suara saron, bonang, gong, dan gendang berpacu dalam irama. Gamelan yang mengantarkan gending-gending Jawa itu mengundang tiga ledek alias penari tayub tampil ke depan panggung. Dengan senyum merekah, perempuan-perempuan berkebaya dan berkemban lengkap dengan selendang berwarna mencolok itu menyapa penonton.
Setelah beberapa gending (lagu) pemanasan didendangkan, saat yang ditunggu-tunggu para lelaki yang duduk di barisan depan (biasanya tamu kehormatan) datang. Mereka diberi sampur (selendang) oleh pembawa acara sebagai tanda mendapat giliran menari bersama ledek yang berdandan mingis-mingis alias cantik berseri-seri itu. Umumnya mereka cuma kebagian jatah satu lagu karena banyak lelaki lain yang menunggu untuk mendapat giliran menjadi pengibing, menari bersama ledek.
Begitulah, siang itu warga Kemiri terasa larut dalam alunan tayub. Lenggak-lenggok tangan dan pinggul ledek mengikuti irama gamelan membius mereka. Lagu yang didendangkan tak melulu gending Jawa seperti Caping Gunung, tapi juga lagu-lagu campur sari dan bahkan lagu dangdut semacam Sinden Panggung. Kendati gendingnya dipungut dari berbagai jenis musik, pengiringnya tetap gamelan.
Di Blora dan juga Pati dan sekitarnya di Jawa Tengah, tayub memang masih mendapat tempat di masyarakat. Menurut Margono, sesepuh tayub di daerah Blora, hampir setiap kecamatan di daerah ini memiliki kelompok tayub. Jumlah ledeknya bisa mencapai ratusan tiap kecamatan. "Mungkin di daerah lain kesenian ini sudah mati, tapi di Blora masih diuri-uri (dilestarikan) dan eksis," katanya.
Tayub tak bisa dilepaskan dari kultur masyarakat yang agraris. Ketidakpastian dalam masyarakat agraris menimbulkan kepercayaan untuk memuja dewi kesuburan. Kondisi ini, menurut sebuah teori yang dipercaya sebagian budayawan, memunculkan "tari kesuburan" bernama tayub. Sebagian orang Jawa percaya kesuburan datang sebagai hasil kerja sama antara langit…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…