Para Maestro Yang Tetap Bercahaya

Edisi: 30/31 / Tanggal : 2002-09-29 / Halaman : 82 / Rubrik : LAY / Penulis : Shahab, Idrus F. , Chamim, Mardiyah , Suyono, Seno Joko


Sudah pasti tak gampang meraih perbawa yang begitu dahsyat. Butuh pergulatan yang panjang dan tak jarang mesti berdarah-darah. Penari sepuh Tarwo Sumosutragio, misalnya, menjalani laku prihatin, termasuk dengan melakukan puasa ngrowot, cuma menyantap buah dan umbi ketela.

Bagaimana dengan maestro yang lain? Silakan simak hasil perbincangan tim TEMPO dengan empu-empu tari tradisi dari beragam corak kebudayaan.

***

Ida Wayan Padang: Maestro Gambuh dari Budakeling

BOCAH delapan tahun itu begitu lentur menarikan gambuh, teater tradisional Bali, dalam upacara di pura. Tak lama kemudian, penari belia itu sudah menginjakkan kaki di aneka panggung. Tak hanya di Budakeling, kampung halamannya, tapi sampai ke Surakarta, Yogyakarta, hingga Jakarta. Penari kecil itu kini berusia 89 tahun. Dialah Ida Wayan Padang.

Padang adalah tari itu sendiri. Sejak kecil dia memang hidup dengan tarian klasik, dari gambuh hingga arja. Gambuh lebih menceritakan raja-raja besar (ada Demang Tumenggung, Pepatih Alit, dan Pepatih Agung), sedangkan arja berkisah tentang raja-raja kecil (ada mantri atau anak raja dan pendamping galuh atau putri raja). Dalam keduanya, penari harus juga bisa melantunkan tembang. Sejak kecil Padang sudah hafal semua lagu dalam kedua drama tari itu.

Setelah menguasai dua jenis tarian klasik itu, Padang beranjak ke tari topeng. Semua jenis tari topeng (dari topeng pajegan, topeng dalem, dan topeng keras) "dilahap"-nya. Ia bahkan sempat dinobatkan sebagai salah satu penari topeng terbaik di Pulau Dewata.

Ayah tiga putra ini—Ida Made Bosma, Ida Made Ukir, dan Ida Nyoman Sogata—tak hanya berhenti pada seni tradisional Bali. Ia juga bergumul dengan cakepung, "merger" antara tradisi Lombok dan Karangasem, Bali. Berkat cakepung ini, Padang sempat melanglang ke Jepang.

Totalitas Padang tak lepas dari pengaruh orang tua dan para kakek-nenek yang memiliki sejarah berkesenian yang panjang di Grya Budakeling. Tak aneh, kalau ada permintaan tampil, keluarga Grya Budakeling bisa tampil secara spontan. "Kami bisa menari kapan saja tanpa latihan, termasuk dalam drama gong," kata Ida Pedanda Made Jelantik, adik Padang. Tak aneh jika "bakat turunan" ini pun mengalir di tubuh sang kakak.

Ketika Padang menyantap pendidikan formal di Sekolah Rakyat Budakeling, Ida Wayan Oka, sang ayah, meminta kepada kepala sekolah untuk mengambil Padang buat dididiknya sendiri sebagai penari. Dan didikan sang ayah tak sia-sia. Padang dan gambuh Budakeling bagai nama tak terpisahkan hingga kini.

Sebenarnya, "kesaktian" Padang bukan hanya menari, tapi juga memainkan alat musik tradisional (suling dan rebab) dan mendalang. Semua dilakoninya bagai air mengalir. "Saya sebenarnya sangat suka membaca kakawin, sehingga mendalang tidak sulit," katanya. Sayang, Padang mengalami cedera pada tenggorokan, sehingga dokter melarangnya mendalang. Namun itu tak menghentikan langkah Padang.

Ia tak menyimpan kebisaan itu untuk dirinya sendiri. Maka, sejak 1940 hingga kini, Padang aktif mengajar tari.…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Saat Perempuan Tak Berdaya
2007-12-16

Tidak ada senyum, apalagi keceriaan. tidak ada pula musik yang terdengar di film ini. dari…

P
Perjamuan Da Vinci
2006-05-28

Bermula dari novel, lalu bermetamorfosis ke dalam film. di kedua bentuk itu, the da vinci…

Y
YANG KONTROVERSIAL
2006-05-28

Dan brown mengemukakan teori bahwa yesus mempercayai maria magdalena sebagai pemangku ajaran kristiani yang utama,…