William Soeryadjaya: "seolah Buta Dan Tuli, Saya Meneken Surat Itu"
Edisi: 26/31 / Tanggal : 2002-09-01 / Halaman : 64 / Rubrik : IQR / Penulis : Arjanto, Dwi
TUBUHNYA sudah agak membungkuk pada usia 80 tahun. Tapi siapa pun yang melihatnya akan mudah mengakui bahwa laki-laki tua itu, William Soeryadjaya, tak gampang dipatahkan oleh prahara. Sepuluh tahun silam, ia kehilangan mahkota di puncak kesuksesannya ketika Bank Summa dilikuidasi pemerintah. Keluarga Soeryadjaya yang terhormat dicaci-maki. Nasabah yang marah tumplek di depan rumah keluarga itu di Menteng, Jakarta Pusat. Dalam hawa amarah yang mendidih, orang-orang melemparkan kotoran ke dinding rumah tersebut dan menjeritkan sumpah-serapah agar taipan besar itu dan anak-anaknya mendapat celaka karena sudah memberi bala kepada setiap nasabah yang mempercayai Bank Summa.
Tapi keruntuhan itu tidak menjungkalkan William untuk tetap hidup dengan wajah yang sehat segar hingga usia 80 tahun. Tatapan matanya masih nyalang. Jabatan tangannya tetap kuat mencengkeram berkat olahraga sepeda statis dan treadmill secara teratur. Masih bekerja selama 10 jam sehari, William bahkan tidak meninggalkan kebiasaan lamanya sejak dulu: makan sate kambing dan mengisap cerutu. "Saya orang yang berbahagia," ujarnya kepada TEMPO sembari terbahak. Padahal perjalanan hidup Tjia Kian Liongânama asli Williamâdiwarnai naik-turun yang luar biasa.
Dia sukses memimpin Grup Astra, perusahaan otomotif yang menguasai pasar mobil di Indonesia. Sebagai pengusaha, ia menjalankan bisnisnya dengan etos yang mendatangkan hormat dari dunia bisnis nasional ataupun internasional.
Keluarga ini kemudian membangun Bank Summa, perusahaan yang dikelola putra sulung William, Edward Soeryadjaya. Pada 14 Desember 1992, terompet kematian ditiupkan bagi kerajaan bisnis pengusaha kelahiran Majalengka, Jawa Barat, itu saat pemerintah memutuskan menutup Bank Summa. Pada 1991, Summa merugi Rp 591 miliar. Dari Rp 1,5 triliun total kredit yang disalurkannya, Rp 1 triliun di antaranya macet.
Dan William, ketika itu, menerapkan etika bisnis yang kini jadi barang langka di negeri ini: ia menjual mayoritas saham Astra untuk menutup kewajiban Summa kepada nasabah dan pihak ketigaâsesuatu yang sebetulnya bisa tidak ia lakukan karena Astra dan Summa adalah dua perusahaan terpisah. "Yang saya pikirkan adalah nasabah kecil yang menabung uang mereka sedikit demi sedikit di Summa," kata William dengan mata menerawang.
Semula dia tak percaya pemerintah menutup Summa. Ia berkeyakinan bisa menyelesaikan rush yang menghantam bank itu. Belakangan ia sadar bahwa Summa hanya sasaran antara. "Yang diincar sebetulnya adalah Astra," kata pengusaha yang mulai berbisnis dengan berdagang kertas bekas di Cirebon itu.
Tiga pekan lalu, William menerima wartawan TEMPO Dwi Arjanto, Iwan Setiawan, Arif Zulkifli, dan Nugroho Dewanto untuk sebuah wawancara khusus. Ia membeberkan drama keruntuhan Astra dan…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Dan Sang Guru Berkata...
2004-04-18Novel filsafat sophie's world menjadi sebuah jendela bagi dunia untuk melihat dunia imajinasi dan edukasi…
Enigma dalam Keluarga Glass
2010-04-11Sesungguhnya, rangkaian cerita tentang keluarga glass adalah karya j.d. salinger yang paling superior.
Tapol 007: Cerita tentang Seorang Kawan
2006-05-14pramoedya ananta toer pergi di usia 81 tahun. kita sering mendengar hidupnya yang seperti epos.…