Hatta, Buku Yang Tak Pernah Tamat Dibaca
Edisi: 24/31 / Tanggal : 2002-08-18 / Halaman : 32 / Rubrik : LIPSUS / Penulis : Gaban, Farid
BENDI itu berhenti di depan Stasiun Pasar Bawah. Seorang lelaki menghampiri, berniat menumpang. Sais bendi menyebutkan ongkos. Lelaki tersebut menawar. Tapi harga tak kunjung cocok. Tak sabar meladeni, sais itu menghardik dengan suara keras, "Kalau tidak punya uang, jangan naik bendi. Jalan kaki saja." Calon penumpang itu, Wakil Presiden Republik Indonesia Mohammad Hatta, hanya tersenyum sembari berlalu. Cuplikan kisah 55 tahun silam ini dituturkan kepada TEMPO oleh Husein Abdullah, bekas Komandan Corps Polisi Militer Bukit Tinggi. Pernah menjadi sepupu ipar Hatta, Husein menyaksikan dari dekat beberapa sisi kehidupan Hatta saat sang Wakil Presiden kembali ke Bukit Tinggi dan memerintah selama dua tahun (1947-1949) dari kota itu.
Seabad Bung Hatta adalah ingatan tentang Bukit Tinggi. Hawa sejuk mengaliri kota ini dari Gunung Merapi dan Singgalang serta barisan pegunungan yang melingkarinya. Hatta memang beruntung. Dia lahir di kota ini, yang membelah Ngarai Sianok. Kaum tua-tua melukiskan keindahan ngarai yang subur itu sebagai tempat "desau air di celah-celah batu sungai terdengar seperti nyanyian musim panen." Di Desa Aur Tajungkangâkini menjadi bagian dari pusat Kota Bukit Tinggiâtegak sebuah rumah kayu bertingkat dua. Di sinilah Saleha Djamil melahirkan Mohammad Hatta pada 14 Agustus 1902. Di sini pula Saleha dan suaminya, Mohammad Djamil, mempertautkan bayi itu dengan tanah Minang, dengan garis darah sebuah keluarga terpandang. Hatta memang lahir dari perpaduan dua keluarga terkemuka: pemuka agama dan saudagar.
Kini, di ambang satu abad kelahiran Hatta, orang ramai datang ke Bukit Tinggi untuk menengok rumah kayu itu. Mereka sekadar berkunjung atau boleh jadi ingin meresapi satu jalan sejarah terpenting yang pernah ada di negeri ini dalam sosok Mohammad Hatta. Di kemudian hari, setelah menjadi wakil presiden, Hatta kembali ke kota itu. Dua tahun dia memerintah dari Bukit Tinggi. Gedung Tri Arga--lazim disebut Istana Bung Hatta adalah tempat kediamannya ketika itu.
Sampai sekarang, Gedung Tri Arga masih kukuh berdiri di depan Jam Gadang, simbol Kota Bukit Tinggi. Hatta tidur di kamar besar belakang, yang jendelanya menghadap ke Gunung Singgalang. Pada periode tersebut, penduduk Bukit Tinggi dapat menyaksikan dari dekat kehidupan Hatta yang seperti selalu dikisahkan orangâsederhana dan cermat pada waktu. Beberapa spanduk putih yang berkibar di dekat rumah kelahirannya dan beberapa kantor pemerintah di Bukit Tinggi dalam rangka seabad Bung Hatta juga menuliskan ingatan yang sama: "Seabad Bung Hatta: Arif, Hemat, Santun, dan Sederhana."
Menurut Husein, pada 1947…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Merebut Kembali Tanah Leluhur
2007-11-04Jika pemilihan presiden dilakukan sekarang, megawati soekarnoputri akan mengalahkan susilo bambang yudhoyono di kota blitar.…
Dulu 8, Sekarang 5
2007-11-04Pada tahun pertama pemerintahan, publik memberi acungan jempol untuk kinerja presiden susilo bambang yudhoyono. menurut…
Sirkus Kepresidenan 2009
2007-11-04Pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit, email membawa informasi dari kakak saya. dia biasa menyampaikan bahan…