Roti Dan Dongeng Arab Di Klein Europeesch Stad

Edisi: 24/31 / Tanggal : 2002-08-18 / Halaman : 46 / Rubrik : LIPSUS / Penulis : Gaban, Farid


"Is Hatta Marxist?"

TAHUN 1938. Setumpuk majalah Sin Tit Po yang dipesan Mohammad Hatta tiba di Banda.

Hatta terkesiap. Sebuah karangan dengan judul provokatif, Is Hatta Marxist, dimuat bersambung di edisi April dan Mei. Penulisnya: Mevrow Vodegel Sumarah. Alamatnya: Besancon, Prancis.

Artikel itu menyerang tulisan Hatta: Enige Grondtrekken van de Economische Wereldbouw ("Segi-Segi Utama Ekonomi Dunia"), yang dimuat di Sin Tit Po edisi 6, 7, 8, dan 9. Hatta yakin Mevrow Sumarah adalah nama samaran. Ia curiga sang pengarang berdomisili di Jawa. Ia lalu membalas dengan risalah berjudul Marxisme of Epigonenwijsheid? ("Marxisme atau Kearifan Sang Epigon?").

Itulah Hatta sang pemikir. Dalam pembuangan pun ia berpolemik.

Bisa kita bayangkan artikel itu menumpang kapal yang tak setiap hari datang ke Banda. Dan ketika artikel setebal 23 halaman itu (tentu saja di zaman itu masih diketik dengan mesin tik) sampai ke Batavia di akhir 1938, Hatta tak tahu Sin Tit Po telah gulung tikar. Baru pada 1940 ia mengirimnya kembali ke majalah mingguan Nationale Commentaren pimpinan dr. Ratulangi. Majalah itu kemudian memuat artikelnya di lima nomor berturut-turut. Kelak di kemudian hari, terbongkarlah bahwa ternyata sang Mevrow adalah Tan Ling Djie, seorang komunis Indonesia.

Bayangkan, sekarang saja jalur penerbangan dan kapal laut ke Banda cukup jarang dalam sepekan. Bagaimana di masa itu?

"Perhatian! ABK dek siap muka belakang, kapal sandar kiri! Para penumpang jangan sampai ada barang yang ketinggalan," begitu bunyi pengumuman ketika KM Bukit Siguntang yang ditumpangi TEMPO merapat.

Dermaga labuh kapal yang merupakan sisa dermaga peninggalan kolonial terlihat tidak mampu menampung keseluruhan panjang kapal. Terlihat jelas sisa-sisa dermaga baru yang ambruk ketika Gunung Berapi yang disebut penduduk Dewi Lewerani meletus pada 1988. Sebagian lainnya tenggelam dalam kedalaman Laut Banda yang kesohor itu.

Sekitar 10 meter dari pelabuhan, kita dapat melihat baliho besar bergambar Bung Hatta dan Sutan Sjahrir dengan tulisan "Peringatan Satu Abad Bung Hatta". Baliho itu terpasang di depan Sekolah Tinggi Ilmu Perikanan (STIP), satu-satunya perguruan tinggi yang dimiliki Banda. Kota yang dibangun Portugis pada 1500-an ini begitu tenang. Dapat dipahami mengapa kota ini dulu disebut "Klein Europeesch Stad" (Kota Eropa Kecil). Sisa-sisa kerapian, necis, dan teduhnya terasa.

Saat Hatta dan Sjahrir di sana, mayoritas warga adalah peranakan Eropa dan keturunan Arab yang umumnya berbicara dalam bahasa Indonesia logat Banda dengan dicampur banyak kata Belanda. Mereka menyebut roti sebagai brot, misalnya.

Kondisi Banda memang berbeda dengan Digul, yang serba susah: memiliki perumahan beratap seng dan penuh ancaman wabah penyakit malaria.…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

M
Merebut Kembali Tanah Leluhur
2007-11-04

Jika pemilihan presiden dilakukan sekarang, megawati soekarnoputri akan mengalahkan susilo bambang yudhoyono di kota blitar.…

D
Dulu 8, Sekarang 5
2007-11-04

Pada tahun pertama pemerintahan, publik memberi acungan jempol untuk kinerja presiden susilo bambang yudhoyono. menurut…

Sirkus Kepresidenan 2009
2007-11-04

Pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit, email membawa informasi dari kakak saya. dia biasa menyampaikan bahan…