Sukhoi Berselimut Kabut

Edisi: 21/32 / Tanggal : 2003-07-27 / Halaman : 71 / Rubrik : INVT / Penulis : Dewanto, Nugroho , Patria, Nezar, Setiawan, Iwan


Tim investigasi TEMPO menelisik sejumlah kejanggalan di balik pembelian pesawat Rusia ini. Berikut laporannya.

DALAM lembar-lembar buku agendanya, Effendi Choirie bisa jadi tak akan mencantumkan jadwal perjalanan ke Gresik, Jawa Timur—daerah yang suaranya dia wakili dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)—pada pekan-pekan ini. Ini memang masa reses, saat para anggota parlemen ramai-ramai "pulang kampung" untuk bersilaturahmi dengan para konstituen. Tapi tidak bagi Effendi dan sekitar 17 anggota DPR lainnya. Mereka adalah anggota Panitia Kerja Sukhoi di DPR yang tetap mondar-mandir ke Senayan pada hari-hari ini. "Akhir bulan ini kami akan kembali bersidang," ujar Effendi, Wakil Ketua Panitia Kerja Sukhoi, dengan lantang.

Sidang di masa reses? Betul. Inilah buntut urusan pembelian jet tempur Sukhoi dari pemerintah Rusia pada April silam. Ramai diributkan di media massa selama berpekan-pekan, pembelian empat jet tempur Sukhoi (tipe Su-27 dan Su-30 MK) plus dua helikopter serbu Mill itu memang telah melahirkan kontroversi, perdebatan, tudingan, cercaan, juga aneka tudingan tak sedap.

Kontroversi ini lahir setelah para anggota parlemen mempertanyakan prosedur pembelian yang menurut mereka menabrak sejumlah aturan dan undang-undang, serta penggunaan bujet yang tidak berasal dari anggaran yang sudah diundangkan. Dalam rencana "daftar belanja" TNI Angkatan Udara hingga yang mereka setor ke kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, misalnya, tak sebaris rencana pun tercantum niat mereka berbelanja pesawat tempur hingga 2004.

Walhasil, DPR memutuskan membentuk panitia kerja yang bertugas menelisik lurus-tidaknya prosedur pembelian Sukhoi. Sejumlah nama telah mereka panggil sejak 30 April lalu. Dari Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, bekas Kepala Bulog Rizal Ramli, hingga pengusaha Anton Suleiman telah memberikan keterangan kepada panitia kerja. Sedangkan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini M.S. Soewandi dijadwalkan menemui Panitia Kerja Sukhoi pada 29 Juli mendatang. "Surat pemanggilan untuk Rini telah kami kirimkan," ujar Rizal Djalil, anggota panitia kerja dari Fraksi Reformasi.

Inilah panggilan kedua dari panitia kerja terhadap Rini—sosok yang punya peran sentral dalam seluruh proses pembelian pesawat-pesawat Rusia ini dengan cara imbal beli dengan beberapa komoditas produksi Indonesia. Peran Rini mirip dirigen dalam sebuah orkestra—setiap orang mengambil peran dengan satu panduan.

Adalah Rini yang memerintahkan Direktur Utama Perum Bulog Widjanarko Puspoyo menjadi kepala perunding pembelian empat unit pesawat Sukhoi jenis Su-27 dan Su-30 serta 2 unit helikopter Mill tipe Mi-35P. Transaksi tersebut nilainya hampir mencapai US$ 193 juta. Dalam kurs Rp 9.000, nilainya setara dengan sekitar Rp 1,74 triliun.

Dan Rini pula yang meminta agar transaksi imbal dagang tersebut mendapat jaminan dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Transaksi itu, menurut dia, perlu dilakukan untuk menghemat penggunaan cadangan devisa (dolar) oleh kedua negara, Indonesia dan Rusia—negara pecahan Soviet yang baru keluar dari perawatan Dana Moneter Internasional (IMF).

Langkah-langkah ini yang dipersoalkan oleh para anggota DPR. Sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Rini tak sepatutnya terlibat dalam urusan yang mestinya menjadi wewenang Menteri Pertahanan. Bahkan surat yang dia kirimkan pada 7 April 2003 soal rencana pembelian dengan imbal dagang itu tidak dia tembuskan kepada Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil (lihat Kisah Tiga Ujung Tombak).

Menteri Perindustrian dan Perdagangan itu juga ditengarai melanggar Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Di sana jelas tertera bahwa yang berhak menetapkan kebijakan penganggaran, pengadaan, perekrutan, pengelolaan sumber daya nasional, serta pembinaan teknologi dan industri pertahanan yang diperlukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan komponen pertahanan lainnya adalah Menteri Pertahanan.

Sebelum ada undang-undang ini pun, lazimnya Menteri Pertahanan yang meneken kontrak pembelian persenjataan. Apalagi pembelian pesawat Sukhoi dan helikopter Mill pun jelas-jelas di luar perencanaan Departemen Pertahanan. Dalam usulan alokasi kredit ekspor TNI tahun anggaran 2003 sebesar US$ 241,71 juta yang dikirimkan ke Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, tak tertera rencana membeli peralatan militer Rusia. Perencanaan pembangunan TNI Angkatan Udara sampai tahun anggaran 2004 senilai Rp 5 triliun juga tak mencantumkan segala jet dan helikopter tempur itu. Jadi?

Harus diakui, Rini bukan memutuskan segalanya sendiri. Dalam suratnya kepada Presiden Megawati pada 28 April 2003, dia menulis di awal surat tentang "menindaklanjuti pengarahan Ibu Presiden tentang peningkatan ekspor produk nonmigas Indonesia ke Rusia, yang dikaitkan dengan pengadaan pesawat Sukhoi dan helikopter Mi-35P". Namun, langkahnya dalam mengeksekusi pengarahan itu yang mengalirkan kritik pedas.

Salah satunya adalah transaksi imbal beli tersebut dengan jaminan APBN—terutama karena dananya sama sekali tak ada. Bila dikais-kais, dana tambahan bisa muncul lewat proses anggaran belanja tambahan. Tapi cara itu makan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

M
Muslihat Cukong di Ladang Cepu
2008-01-13

Megaproyek pengeboran di blok cepu menjanjikan fulus berlimpah. semua berlomba mengais rezeki dari lapangan minyak…

T
Terjerat Suap Massal Monsanto
2008-02-03

Peluang soleh solahuddin lolos dari kursi terdakwa kejaksaan agung kian tertutup. setumpuk bukti aliran suap…

H
Hijrah Bumi Angling Dharma
2008-01-13

Blok cepu membuat bojonegoro tak lagi sepi. dari bisnis remang-remang hingga hotel bintang lima.