Indira Damayanti Bambang Sugondo "dpr Sudah Jadi Lembaga Mahakuasa"
Edisi: 21/31 / Tanggal : 2002-07-28 / Halaman : 38 / Rubrik : WAW / Penulis : Dewanto, Nugroho , Endah W.S.,
Tiga dasawarsa kemudian, percakapan dari masa silam tentang kemandirian itu kembali berdengung dalam benak Indira tatkala dia memutuskan mundur dari DPR. Sejak 1 Juli 2002, anggota DPR Fraksi PDIP ini mencopot kartu anggota legislatifnya sebagai protes terhadap langkah partainya yang menolak pem-bentukan panitia khusus (pansus) kasus Bulog II di DPR. Alasannya? Bagi Indira, pansus adalah bukti komitmen penting DPR untuk memberantas korupsi. "Saya mundur karena saya tidak ingin para konstituen menganggap kata-kata saya sekadar pelamis bibir," katanya.
Independensi Indira Damayanti tidak lahir tiba-tiba. Ada pengaruh kuat dari pendidikan keluarga. Ada proses mengikuti "perjalanan parlemen" yang dia lakukan dengan kacamata "orang biasa"âdi sela-sela kesibukannya sebagai ibu rumah tangga, sebagai juru katering, ataupun saat menonton berita di televisi bersama suami dan anak-anaknya di ruang keluarga, jauh sebelum dia masuk ke Senayan.
Dalam konteks pribadi, Indira adalah "anak kemarin sore" dalam politik. Toh, itu bukan panggung yang asing bagi ibu empat anak ini. Anggota DPR Meilono Suwondo dan bekas Menteri Transmigrasi Siswono Yudohusodo masih terhitung saudara sepupunya. Arifin Panigoro, Ketua Fraksi PDIP di MPR, adalah iparnya. Sedangkan suaminya, Bambang Sugondoâseorang eksekutif perminyakanâselalu menjadi partner diskusinya dalam soal politik.
Menyebut dirinya "politisi kagetan," Indira mengakui, "Kalau ada yang bertanya apa yang menjadi titik perhatian saya saat masuk ke politik, jawabannya mungkin segi moral dari politik." Ia mengakui, pendidikan dan pengalamannya jauh dari cukup untuk menjadi seorang politisi yang sesungguhnya. Tapi, "Orang selalu bisa belajar kapan saja, tanpa batasan umur," katanya.
Indira Damayanti disebut-sebut sebagai bagian dari sebuah genre baru dalam tubuh PDIP: mapan secara ekonomi, kelas menengah, intelek, serta menolak keras untuk terjerat dalam suap dan politik main uang, sebuah fenomena klasik yang menyedihkan dalam parlemen kita sejak masa Orde Baru. Masuk ke Senayan dengan kekayaan Rp 9,6 miliar plus US$ 220 ribu, dia terperanjat menyaksikan betapa lancarnya "amplop-amplop" berseliweran saat rapat kerja dan kunjungan kerja, baik selama bertugas di Komisi Kehutanan dan Perkebunan maupun di Komisi Keuangan dan Perbankan DPR RI.
Bersama beberapa rekannya yang masih idealis, Indira bukan saja menolak amplop-amplop itu. Ia blakblakan membuka aib tersebut ke muka publik. Indira juga melontarkan kritik terhadap perilaku anggota DPR yang minta "keistiwewaan yang tak masuk akal." Umpamanya tak mau antre saat pemeriksaan imigrasi di bandar udara atau tak bisa ditangkap polisi bila melakukan pelanggaran lalu lintas. Aturan itu menurut dia jelas-jelas salah kaprah. "Justru anggota DPR mestinya menjadi panutan, bukan mendapat kekebalan untuk hal-hal semacam itu," cetusnya dengan nada gemas.
Pekan silam, Indira menerima wartawan TEMPO Nugroho Dewanto dan Endah W.S. untuk sebuah wawancara khusus di kantornya di Plaza Pondok Indah, Jakarta Selatan. Dalam balutan blazer hitam yang berhiaskan bros emas bermotif daun, Indira tampak segar dan modis. Dia menjawab setiap pertanyaan dengan suara yang tenang dan artikulasi yang jelas. Sesekali jarinya teracung ke atas jika ingin menekankan ucapan tertentu. Berikut ini kutipannya.…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…