Duta Seni Atau Pelayan Seks?

Edisi: 21/31 / Tanggal : 2002-07-28 / Halaman : 112 / Rubrik : KRI / Penulis : Taufik, Ahmad , Kertarahardja, Alit , Syah, Ivan

IDA Ayu Wedawati sangat senang. Berusia 20 tahun, seayu namanya, dia pintar menari sejak kecil seperti umumnya gadis asal Gianyar, Bali. Itu sebabnya ia tertarik ketika sebuah perusahaan pencari bakat menawarinya pergi ke Jepang sebagai duta seni Indonesia.

"Di samping memperkenalkan budaya Bali, saya berharap bisa menambah pengalaman," kata Weda. "Dengan senang saya melamar. Pekerjaan itu sesuai dengan jiwa saya." Weda meninggalkan pekerjaan lamanya di sebuah hotel berbintang lima di kawasan wisata Kuta.

Dengan janji upah menggiurkan, sekitar Rp 7 juta per bulan, kepergian Weda ke Jepang bahkan didukung keluarganya—keluarga Hindu kasta tertinggi, Brahmana. Tapi, siapa sangka harga diri Weda akan dijual begitu rendah? Bukannya mempersembahkan tarian tradisional Bali yang terkenal itu dan membuat harum nama Indonesia, ia diminta menjadi budak pemuas seks.

Weda tidak sendiri. Banyak perempuan Bali dan Jawa Barat yang berangkat ke Jepang dengan iming-iming gaji tinggi dan pekerjaan mulia sebagai duta seni, tapi mereka kemudian terdampar di bar dan kelab malam negeri itu, dengan kemungkinan kecil bisa meloloskan diri.

Weda tertipu tawaran manis PT Nalam Dewi Shinta Konsorsium atau lebih terkenal sebagai Nadeshiko. Perusahaan ini mengantongi izin resmi dari Kepala Kantor Wilayah Pariwisata, Seni, dan Budaya Provinsi Bali sejak Desember 1998. Bidang usaha resminya adalah jasa impresariat atau agen pencari bakat.

Sebelum menerima pelatihan, Weda diminta mengisi formulir. "Di situ saya mengisi…

Keywords: -

---

Foto Terkait