Gerilya Dari Rumah Kulit

Edisi: 25/32 / Tanggal : 2003-08-24 / Halaman : 32 / Rubrik : LIPSUS / Penulis : Suyono, Seno Joko , Chamim, Mardiyah, Patria, Nezar


HANYA dua bulan sebelum pergolakan—yang kemudian disebut sejarah sebagai Darul Islam—pecah pada 21 September 1953, Boyd R. Compton berkunjung ke rumah Daud Beureueh di Beureuneun, Pidie. Compton, peneliti dari Amerika Serikat itu, bisa menangkap kegundahan hati si empunya rumah. Compton mencatat sebuah isyarat yang dilemparkan Beureueh, bekas Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Isyarat itu: pemberontakan bersenjata segera meletus di Aceh.

"Kami di Aceh ini punya impian," ujar Beureueh seperti dikutip Compton dalam bukunya, Kemelut Demokrasi Liberal. "Kami mendambakan masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda ketika Aceh menjadi Negara Islam," ujar Beureueh.

Beureueh merasa Jakarta menusuknya dari belakang. Pada masa revolusi, dia adalah barisan "kaum republik" yang mengganyang kolonial Belanda dari Aceh. Kini, Jakarta pula yang menyakiti hatinya. Jakarta, misalnya, membubarkan Divisi X TNI di Aceh yang terkenal heroik itu. Lalu, pada 23 Januari 1951, status provinsi bagi Aceh dicabut pula oleh kabinet Natsir. Aceh dipaksa lebur dalam Provinsi Sumatera Utara.

Ketegangan kian memuncak ketika isu "daftar hitam" dikeluarkan oleh kabinet Sukiman. Di Jawa, daftar itu dipakai untuk menjerat anggota PKI. Tapi, di Aceh, sejumlah tokoh mendadak masuk daftar. Mereka ditangkap serta dijebloskan ke bui. Padahal, mereka ulama yang punya jasa mengusir Belanda. "Kita tak bisa lagi bekerja dengan pemerintah tukang tipu," ujar Beureueh.

Kebenciannya kepada Sukarno menyala. Meski begitu, dia tetap menghadap Sukarno di Jakarta. Tujuannya satu: mempertegas nasib Aceh. Dia juga menagih janji Sukarno pada awal kemerdekaan untuk memberikan status otonom bagi Aceh. Jawaban Sukarno membuatnya patah arang: "Apa boleh buat. Negara baru, tentara baru. Apa yang terjadi tak bisa dibantah lagi." Jawaban Sukarno itu dikutip oleh Mansoer Ismail, sekretaris pribadi Beureueh yang masih hidup dan kini berusia 103 tahun.

Menurut Mansoer, Beureueh pun memukul gong pemberontakan itu, 21 September 1953, setelah kongres ulama di Titeue, satu kecamatan di Pidie. Di sana dia menyatakan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia, mengikuti jejak Kartosoewirjo di Jawa Barat. Perlawanan bersenjata dimulai. Bersama Beureueh, sejumlah pasukan TNI pun balik gagang menjadi Tentara Islam Indonesia (TII). Sehari setelah proklamasi itu, mereka menguasai sebagian besar daerah Pidie, dan bertahan di Garot.

Jakarta tak kalah cepat. Dari Sumatera Timur (kini masuk wilayah Sumatera Utara), pasukan pemerintah yang dipimpin…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

M
Merebut Kembali Tanah Leluhur
2007-11-04

Jika pemilihan presiden dilakukan sekarang, megawati soekarnoputri akan mengalahkan susilo bambang yudhoyono di kota blitar.…

D
Dulu 8, Sekarang 5
2007-11-04

Pada tahun pertama pemerintahan, publik memberi acungan jempol untuk kinerja presiden susilo bambang yudhoyono. menurut…

Sirkus Kepresidenan 2009
2007-11-04

Pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit, email membawa informasi dari kakak saya. dia biasa menyampaikan bahan…