Snouck Hurgronje, Mekah, Dan Aceh

Edisi: 25/32 / Tanggal : 2003-08-24 / Halaman : 60 / Rubrik : LIPSUS / Penulis : Suyono, Seno Joko , Chamim, Mardiyah, Patria, Nezar


"… Jika kita kembali seperti dulu, dari serangan sebentar ke sikap bertahan, kita akan memberikan peluang kepada lawan untuk beristirahat dan kita akan kehilangan kepercayaan mereka, yang baru saja kita taklukkan. Dan segera jika mereka itu terlepas dari kita, musuh kita akan menampung mereka kembali. Makin lama kita akan makin banyak menghadapi perlawanan pasif para kepala yang telah kita tundukkan, pernyataan tak mampu untuk memelihara ketertiban…."

-- dimuat di harian De Java Bode, November 1899

"… selama lebih dari 10 tahun bertindak dengan energi tanpa mengenal lelah dan pengertian militer yang meningkat di Sumatera Utara, kita masih jauh dari tujuan akhir; sesungguhnya untuk mempertahankan apa yang sudah diperoleh, masih tetap diperlukan pengerahan tenaga besar dari pasukan. Dengan segala kemauan baik, belum terlihat peralihan berangsur-angsur dari keadaan perang gerilya ke dalam keadaan damai dengan pemerintahan teratur, yang akan mengungkapkan dengan terus terang ramalan, kapan operasi akan berakhir…."

-- terbit anonim dalam de Nieuwe Courant, Juni 1908

DUA karya Snouck Hurgronje itu, bila dibandingkan, tampak menunjukkan sebuah kebimbangan. Yang pertama, tampak ditulis dengan nada gahar, sebuah usul tentang bagaimana tak seharusnya "anak-anak Wilhelmina" menunda menggebuk Tanah Rencong. Sembilan tahun kemudian (entah kenapa ia menyembunyikan identitasnya), tulisan itu bagai sebuah pengakuan bahwa tujuan yang diharapkannya tak terlaksana. Adakah ia merasa nasihatnya telah salah diterapkan?

Snouck Hurgronje datang ke Aceh pada 1891. Anak pendeta dari Oosterhout berusia 34 tahun itu mengemban misi besar. Saat itu Belanda terombang-ambing oleh pertanyaan apakah selama ini perang dilakukan dengan cara yang tepat. Dimulai dari tahun 1873, mereka menjalani perang melawan Aceh selama 16 tahun. Hasilnya, garnisun mereka kocar-kacir. Bahkan Mayor Jenderal Kohler, pemimpin agresi pertama, menjadi bangkai.

Semakin hari, tentara Kompeni semakin tak bergerak. Jalan kereta api rusak, kawat telepon yang menghubungkan benteng satu sama lain digunting. Hikayat Perang Sabil—sebuah syair perlawanan yang ditulis Teungku Tjhik Pante—yang mengisahkan perjalanannya naik kapal pulang haji dari Mekah sampai Penang, dan kemudian disebarkan ke masyarakat oleh Teungku Cik di Tiro Aceh itu, betul-betul menciptakan syuhada, mujahid-mujahid yang tak takut mati.

Kedatangan pemuda kurus, berjanggut tipis, yang dikenal karena kenekatannya memasuki Mekah itu, memberikan secercah harapan. Doktor sastra Arab itu menyodorkan pergantian taktik militer. Menurut dia, "anak-anak Kincir Angin" itu tak boleh "menunggu ganda". Pemimpin militer harus dapat bertindak bebas; memberikan pukulan keras sehingga orang Aceh menjadi takut, dan tidak menggabungkan diri dengan pemimpin gerombolan yang berbahaya. Anjuran-anjuran penguasa sipil, menurut Snouck Hurgronje, sebaiknya didengarkan karena mereka terbiasa dalam keadaan normal. Jenderal Van Heutz melaksanakannya. Terbukti resepnya manjur.

Pada 1903, Kesultanan Aceh Darussalam menyerah. Tahun itu oleh Belanda ditabalkan sebagai tahun kemenangan Belanda. Tahun itu juga mereka seolah menahbiskan sebagai "tahun intelektualitas"…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

M
Merebut Kembali Tanah Leluhur
2007-11-04

Jika pemilihan presiden dilakukan sekarang, megawati soekarnoputri akan mengalahkan susilo bambang yudhoyono di kota blitar.…

D
Dulu 8, Sekarang 5
2007-11-04

Pada tahun pertama pemerintahan, publik memberi acungan jempol untuk kinerja presiden susilo bambang yudhoyono. menurut…

Sirkus Kepresidenan 2009
2007-11-04

Pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit, email membawa informasi dari kakak saya. dia biasa menyampaikan bahan…