Peringatan Van Der Eng

Edisi: 25/32 / Tanggal : 2003-08-24 / Halaman : 76 / Rubrik : LIPSUS / Penulis : Suyono, Seno Joko , Chamim, Mardiyah, Patria, Nezar

SEROMBONGAN tentara pulang dengan bertempik sorak. Ekspedisi ke Pidie, Aceh, sudah mereka tunaikan dengan gilang-gemilang. Pemberontakan rakyat dan kaum ulama telah mereka gulung. "Kemenangan final," begitu Jenderal Van Heutsz membanggakan kejayaan pasukannya pada perang besar di tahun 1898 itu.

Tapi, sejarah membuktikan kemenangan itu tak pernah benar-benar final. Pertempuran dalam skala kecil nyatanya terus berlangsung di seluruh Tanah Rencong bertahun-tahun kemudian. Korban jiwa dan harta benda tetap saja berjatuhan. Dan kemenangan yang dibangga-banggakan penjajah Belanda tak pernah henti digerogoti perlawanan gerilya.

Peristiwa seabad lalu itu mestinya bisa jadi pelajaran saat ini, ketika kebuasan perang kembali mengoyak Aceh setelah puluhan ribu prajurit TNI dikirim ke Serambi Mekah. Tapi korban jiwa dan harta benda kembali keburu melayang.

Padahal, pemerintah sudah pernah berjanji kepada masyarakat dan negara-negara kreditor bahwa perang bakal berlangsung cepat dan tak akan menguras anggaran. Operasi militer mula-mula disebut cuma akan berlangsung dalam enam bulan dan "hanya" memerlukan biaya Rp 1,7 triliun.

Kenyataannya, baru berselang tujuh pekan sejak operasi dimulai, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Endriartono Sutarto telah menyatakan bahwa perang bisa berlangsung lebih dari enam bulan. "Operasi militer bisa memakan waktu setahun, dua tahun, atau sepuluh…

Keywords: -

---

Foto Terkait