Mohammad Sadli: "megawati Mau Tahu Beresnya Saja"
Edisi: 15/31 / Tanggal : 2002-06-16 / Halaman : 39 / Rubrik : WAW / Penulis : Taufiqurohman, M. , Rulianto, Agung ,
SEDERET kerepotan membuntuti Mohammad Sadli pada usianya yang semakin senja. Mau rajin berolahraga, takut kakinya keseleo. Ingin pergi ke dokter, ia khawatir banyak penyakitnya yang terungkap. Akhirnya, lelaki yang pada 10 Juni ini genap berumur 80 tahun tersebut memilih bersantai sambil menonton pertandingan Piala Dunia di TV. "Paling-paling usia saya tinggal lima tahun lagi," tuturnya.
Tapi ekonom senior ini tak pernah merasakan kesepian. Selain masih sering menulis untuk berbagai media cetak, ia juga rajin berkomunikasi lewat e-mail dengan kawan-kawannya sesama ekonom. Sebuah kado istimewa pun telah disiapkan oleh para ekonom muda negeri ini untuk merayakan ulang tahunnya. Para ekonom seperti Muhammad Ikhsan, Sjahrir, Chatib Basri, dan Sri Mulyani akan mengemas serpihan-serpihan pe-mikiran Sadli ke dalam sebuah buku. "Tapi saya tidak tahu persis rencana mereka. Saya juga belum mendapatkan bukunya," ujar Sadli.
Orang Sumedang, Jawa Barat, ini memang termasuk tokoh langka. Dia salah satu satu arsitek ekonomi pada awal Orde Baru. Bersama para ekonom lainnya dari Universitas Indonesia seperti Widjojo Nitisastro, Ali Wardana, Subroto, dan Emil Salim, ia meletakkan dasar-dasar kebijakan ekonomi negeri ini. Saat itu perekonomian tengah terpuruk. Inflasi negara ini mencapai 650 persen. Gaji pegawai negeri hanya cukup untuk hidup seminggu. Sementara itu, ekspor juga seret.
Untuk mendongkrak kemakmuran, kelompok Widjojo menjalankan ekonomi yang cenderung pro-pasar. Namun, mereka tetap melakukan pengendalian pasar lewat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Sadli sendiri saat itu cukup berperan besar dalam menarik investor asing.
Setelah beberapa tahun berjalan, kerja keras kelompok Widjojo mulai membuahkan hasil. Inflasi bisa direm dan ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan enam hingga tujuh persen tiap tahun.
Hanya, obsesi untuk mengejar pertumbuhan belakangan justru menjadi bumerang. Kue pembangunan ekonomi menumpuk pada segelintir konglomerat dan ternyata sulit menetes ke rakyat bawah. Bersama sejumlah praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme yang dilakukan penguasa, kenyataan itu membawa keruntuhan pemerintahan Soeharto pada 1998 lalu.
Mengamati dari dekat perekonomian selama Orde Baru, Sadli sampai pada kesimpulan yang unik. Pada saat krisis, menurut doktor lulusan Universitas Harvard ini, pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan yang jitu. Tapi, ketika makmur, justru muncul banyak kebijakan yang kurang tepat.
Lalu, bagaimana pengamatannya atas ekonomi sekarang? Apa pula komentarnya mengenai tim ekonomi Megawati? Kendati sudah sepuh, suami Saparinahâguru besar psikologi Universitas Indonesiaâini masih bisa menguraikan pemikirannya secara jernih. Saat menerima wartawan TEMPO M. Taufiqurohman dan Agung Rulianto serta fotografer Amatul Rayyani di rumahnya di Jalan Brawijaya, Jakarta Selatan, ia pun tampak bugar. Bekas…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…