K.h. Abdul Muchith Muzadi: "semua Elite Politik Perlu Psikiater"

Edisi: 07/30 / Tanggal : 2001-04-22 / Halaman : 38 / Rubrik : WAW / Penulis : , ,


ORANGNYA peramah sekaligus lucu. Raut wajahnya sepenuhnya membayangkan kekiaian yang sudah mengalami akulturasi dengan "dunia luar". Pandangan matanya penuh selidik, tapi kewaspadaan itu dilembutkan oleh senyum yang khas.

Kalimat itu adalah kutipan kolom Abdurrahman Wahid berjudul Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, yang ditulis di TEMPO pada 5 April 1980. Orang yang dideskripsikan itu adalah K.H. Abdul Muchith Muzadi, 76 tahun, yang sekarang masuk dalam jajaran Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Kiai Muchith adalah orang yang sederhana. Kakak K.H.A. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU, itu tinggal di sebuah rumah mungil di Jalan Kalimantan, Jember, Jawa Timur. Kiai Muchith juga tidak suka memakai aksesori kekiaian seperti jubah dan sorban. Dia memilih memakai baju orang kebanyakan seperti kaus oblong dan sarung, atau paling banter mengenakan kemeja batik, celana hitam, serta sepatu sandal.

Hidup Kiai Muchith juga tidak dikelilingi santri, karena memang kiai ini tidak punya pesantren. "Mendirikan pesantren itu harus mandiri. Kalau dibantu orang lain, itu kan tidak mandiri lagi," kata kiai yang lahir di Bangilan, Tuban, 4 Desember 1925 itu. Ketika Bupati Jember dekade 1970, Abdul Hadi, pernah menawarkan bantuan untuk membangun pondok pesantren untuk Kiai Muchith, tawaran itu ditolaknya.

Namun, tidak punya pesantren tidak berarti tidak berkarisma. Kiai Muchith adalah orang yang sangat dihormati di kalangan NU. Dia adalah orang yang membuka bahtsul masail yang membicarakan soal bughot atau makar, di Pondok Pesantren Al Masturiyah, Sukabumi, Jawa Barat, dua pekan lalu. "Saya ini bukan siapa-siapa, kok disuruh pidato membuka acara. Mungkin sayalah yang paling tua di sini. Pikiran panitia: mumpung saya masih hidup, bukan karena saya lebih pintar," katanya pada waktu itu.

Itulah Kiai Muchith, yang mendapat julukan sebagai "literatur hidup NU". "Kalau saya tidak ketemu Kiai Muchith, tentu saya tidak tahu NU," kata Andree Feillard, peneliti tentang NU dari Prancis. Dan, gelar itu memang mudah dibuktikan. Selama dua jam, Kiai Muchith dengan lancar bercerita tentang berbagai peristiwa NU di masa lalu, mulai dari zaman penjajahan Belanda hingga masa Soeharto. Pun, peristiwa masa kini, di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman, Kiai Muchith tidak ketinggalan berita. "Saya baca lima koran setiap hari," katanya.

Untuk itulah, ketika kajian bughot digelar di Sukabumi, pendapat Kiai Muchith yang jernih itu sangat berarti. Sehingga nanti, bila rumusan dari Sukabumi dibahas Rapat Pleno PBNU di Cilegon, 13-15 April 2001, dapat dihasilkan formulasi yang tepat. "Yang penting segalanya dibahas secara jernih," kata kiai yang punya rasa humor tinggi itu.

Sentuhan Kiai Muchith memang terbukti mujarab. Coba lihat beberapa jasanya. Kiai Muchith adalah orang yang punya andil dalam rekonsiliasi antara dua kubu NU yang berseteru, yaitu kubu Cipete-nya K.H. Idham Chalid dengan kubu Situbondo, yang dipelopori K.H. As'ad Syamsul Arifin (almarhum). Kiai Muchith juga orang yang menyelamatkan Abdurrahman, ketika Orde Baru berniat menjegalnya di Muktamar NU di Cipasung…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…