Mari Alkatiri: "saya Bukan Anti Indonesia"

Edisi: 14/31 / Tanggal : 2002-06-09 / Halaman : 38 / Rubrik : WAW / Penulis : Prabandari, P.D.


GELOMBANG perubahan di Timor Timur telah menjadikan Mari Alkatiri bagaikan seorang pesulap. Baru pulang dari perantauannya di Mozambik tiga tahun lalu, politisi 53 tahun ini gesit sekali bergerak. Ia hidupkan lagi Frente Revolucionaria de Timor Leste Independente (Fretilin), yang selama belasan tahun mati suri. Rakyat Timor Timur segera tersihir oleh citra yang melekat pada partai ini. Tidak saja dianggap sebagai partai perjuangan, partai ini dijuluki sebagai partai penyelamat bangsa Timor Loro Sa'e. Tidak mengherankan jika kemudian Fretilin tampil sebagai pemenang dalam Pemilu 2001 lalu, merontokkan partai lainnya.

Bermodalkan posisinya sebagai sekretaris jenderal di Fretilin, akhirnya Alkatiri meroket menjadi perdana menteri pertama Timor Timur. Tokoh muslim ini menjadi orang kedua paling berpengaruh di sana setelah Presiden Xanana Gusmao.

Sejatinya, sebagai Ketua Partai Fretilin, Lu Olo lebih berpeluang memegang kendali pemerintahan sehari-hari. Tapi tokoh 57 tahun ini adalah seorang tentara murni yang lurus dan tak seluwes Alkatiri dalam bermain politik. Dulu ia dikenal sebagai sayap Fretilin yang pro-Xanana. Hidupnya lebih banyak dihabiskan di hutan bersama para prajuritnya.

Boleh jadi Lu Olo dipasang sebagai pemimpin Fretilin sekedar untuk meredakan konflik lama antara Alkatiri dan Xanana. Pertikaian ini sudah terjadi saat Fretilin masih bergerilya di hutan dan berlanjut menjelang pemilu lalu. Ujungnya, Xanana mengundurkan diri dari Fretilin dan lebih suka dicalonkan sebagai presiden oleh banyak partai. Di mata Mario Viegas Carrascalao, mantan Gubernur Timor Timur, Xanana termasuk figur yang mementingkan persatuan nasional. Ini kontras dengan sikap Alkatiri, yang lebih mengutamakan demokrasi dan kepentingan partai.

Bisa dibayangkan kestabilan politik di Timor Timur di masa mendatang amat bergantung pada kerja sama dua figur penting itu. Sejauh ini, konflik di antara mereka tertimbun semangat dan euforia sebuah bangsa yang baru mereka. Saat merayakan kemerdekaan 20 Mei lalu, Xanana dan Alkatiri masih bisa membagi tugas dengan baik, termasuk dalam urusan seremonial seperti menerima tamu dari berbagai negara.

Di tengah kesibukannya itulah Alkatiri dengan ramah menerima wartawan TEMPO Purwani D. Prabandari dan fotografer Bernard Chaniago untuk sebuah wawancara. "Saya kira orang Indonesia tidak menyukai saya," katanya sambil menyilakan TEMPO masuk ke ruang kerjanya di gedung bekas kantor United Nations Transitional Administration in East Timor (UNTAET). Ia langsung tertawa keras ketika kalimat tersebut dijawab sebaliknya bahwa orang pikir dia tidak suka Indonesia.

Meski Timor Timur menjadi bagian Negara Indonesia selama 24 tahun, pria keturunan imigran dari Yaman ini tidak menguasai bahasa Indonesia. Maklum, hidupnya lebih banyak dihabiskan di luar negeri. Ia ditugasi Fretilin, partai yang didirikannya pada 1974, melakukan kampanye untuk…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…