Mimpi Jadi Cinderella Di Singkawang

Edisi: 03/30 / Tanggal : 2001-03-25 / Halaman : 67 / Rubrik : SEL / Penulis : Suryalibrata, Rian , ,

Di Singkawang, Kalimantan Barat, orang-orang keturunan Cina hidup seperti banyak pribumi: bertani, menjadi nelayan, atau buruh pelabuhan. Dan di tengah belitan kemiskinan, menikahkan anak gadisnya dengan pria Taiwan menjadi satu-satunya jalan penyelamatan-juga penderitaan serta problem-problem baru.

Wartawan TEMPO Rian Suryalibrata dan fotografer Awaluddin melaporkan dari Singkawang. Tulisan disajikan oleh Bina Bektiati dan Hermien Y. Kleden.

SINGKAWANG tampak berdandan menjelang sore hari. Para amoi centil menggoda, dengan baju tank top, rok mini, hingga baju pesta seperti long dress. Mereka memenuhi Jalan Diponegoro, jalan utama di kota kecil itu. Tawa mereka dan aroma minyak wangi terbang berbaur dengan asap knalpot sepeda motor yang mereka kendarai.

Jalan Diponegoro adalah tempat mejeng atau rendezvous. "Mereka berkenalan di sini, ngobrol, dan kalau cocok bisa pacaran," kata Ket Fui, pemuda 29 tahun yang suka mangkal di situ. Bila malam makin larut, keramaian kota beralih ke Pasar Hong Kong, yang hidup 24 jam: pagi untuk pertokoan dan pasar tradisional, malam untuk restoran aneka masakan Cina.

Singkawang, sebuah kota administratif di bawah Kabupaten Bengkayang, memang sebuah kota Cina. Menurut data 1999, jumlah penduduk kota mencapai 161 ribu orang, dan 48 persennya adalah etnis Cina. Atribut budaya Cina tersebar di segala penjuru Singkawang. Kelenteng-kelenteng yang selalu mengepulkan asap hio, keramik-keramik khas Tionghoa dengan motif naga dan bunga, serta percakapan dalam bahasa Khek atau Hakka (mirip yang dipakai di Taiwan) hampir ada di mana-mana. Di tengah perayaan Imlek dan Cap Go Meh pada Februari silam, Singkawang tak ubahnya sebuah pecinan besar.

Tapi, lupakan gambaran konglomerat Cina kaya-raya dengan puluhan perusahaan dalam portofolio dan mobil…

Keywords: -

---

Foto Terkait