Jatuhnya Joseph Estrada: Revolusi Elite Atau Rakyat?

Edisi: 50/29 / Tanggal : 2001-02-18 / Halaman : 59 / Rubrik : SEL / Penulis : Gaban, Farid , Laksmini, Gita W. ,


EPIFANIO de los Santos Avenue, atau lebih dikenal sebagai EDSA, bersih sudah. Jalan besar-panjang di Metropolitan Manila itu kini lengang dari lautan manusia. EDSA Shrine, bangunan untuk memperingati keberanian para suster Katolik menghadapi tank-tank militer diktator Ferdinand Marcos pada 1986, tidak lagi penuh poster dan spanduk. Hanya tersisa beberapa, putih kumal dengan huruf bercat merah, berisi ucapan selamat kepada presiden baru, Gloria Macapagal-Arroyo.

Spanduk senada tersebar di berbagai penjuru Kota Manila, tergantung di pinggiran jalan raya ataupun gang-gang kecil, tempat orang-orang membawa ember berisi air bersih dan sabun untuk mencuci jeepney, mobil angkutan umum lokal.

Warga kota beringsut memenuhi jalan, menunaikan apa-apa yang harus mereka kerjakan tiap harinya. Para mahasiswa menenteng ransel berisi buku teks sambil mengetikkan SMS di telepon genggam mereka. Para pekerja menyetop jeepney, yang berhenti sesuka hati untuk mengantar mereka pergi ke kantor. Sementara itu, para eksekutif muda menyetir mobil mereka dengan waspada di tengah semrawutnya lalu-lintas yang mirip di Jakarta.

Di Rizal Park, taman kota, orang berjalan berdesakan dan bergegas tangkas menghindari anak-anak pengemis kumal yang tidur di sembarang tempat. Hidup kembali berjalan normal. Debu telah luruh kembali setelah tiga pekan silam nyaris semua universitas, kantor, dan Bursa Efek Makati dinyatakan libur serta ratusan ribu orang berpesta di EDSA.

Berpesta? "Sulit melukiskan perasaan saya hari itu. Bayangkan, kita menjatuhkan presiden, untuk kedua kalinya," kata Mia Dawang, dokter gigi berumur 29 tahun, seraya menyantap makan malam hidangan Italia yang mahal di Restoran Adriatico, Manila.

Kerumunan besar di EDSA dan rentetan peristiwa hari-hari itu telah memaksa Presiden Joseph "Erap" Estrada turun dari kursi yang didudukinya cuma dua setengah tahun, dari seharusnya enam tahun. Pada 1986, kerumunan yang sama-meski jauh lebih besar jumlahnya-telah berjasa menurunkan kekuasaan otoriter Marcos yang tua dan berkarat secara efektif dan nyaris tanpa darah. Seperti yang pertama, "People Power Part II" pun berlangsung damai, bahkan riang. Ia lebih mirip sebuah pesta ketimbang revolusi.

"Oh ya, saya ikut ke EDSA. Semua orang pergi ke sana," tutur Aimee Santo Domingo, siswi 18 tahun, seraya mengunyah sandwich tuna di Surf Up Billiard Bar and Internet Café, sembari menghadap komputer dan sesekali mengetikkan pesan SMS di telepon genggam Nokia 3210. "Kami menyanyi dan berdansa dari tengah malam sampai pagi," tuturnya. "Kami cuma pulang sebentar untuk mandi dan berganti baju, lalu berangkat lagi ke sana." Wajah Aimee yang segar menyiratkan kegirangan.

SMS, telepon genggam, dan internet menyatukan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…