Demi 'made In Indonesia': Bekerja, Atau Di-phk
Edisi: 05/31 / Tanggal : 2002-04-07 / Halaman : 78 / Rubrik : SUR / Penulis : Mathari, Rusdi , Sulaeman, Dian N. , Cahyana, Ludhy
CAKUNG, Jakarta Timur, suatu hari pada pukul 06.30. Matahari pagi masih belum mampu mengusir udara dingin yang disisakan hujan semalam. Di kejauhan samar-samar terlihat hanggar, peti kemas, dan menara jaga yang masih berselimut kabut tipis. Sepagi itu, ribuan manusia--kebanyakan perempuan--sudah memenuhi sisi kanan dan kiri jalan utama masuk areal Kawasan Berikat Nusantara (BKN). Dengan dandanan aneka rupa--mulai kaus oblong plus jins murahan, baju seragam, hingga cuma berdaster--dari jarak tertentu barisan panjang yang mencapai satu kilometer itu mirip iring-iringan barongsai. Berjalan bertiga atau berdua, sosok-sosok yang melangkah bagai robot tersebut hampir sama dengan wajah mereka: lelah lahir-batin dan (karena itu) pasrah sampai ke dasar yang terdalam.
Mereka bukanlah kaum demonstran yang hendak berunjuk rasa, melainkan para buruh dari pabrik-pabrik yang berada di lingkungan KBN. Seperti hari-hari sebelumnya, pagi itu mereka sedang berdesakan masuk ke pintu gerbang kawasan untuk mengejar sift kerja pertama, yang dimulai pukul 07.00 tepat. Sesekali terlihat mereka saling mendahului agar lebih dulu sampai ke mulut gerbang kawasan berikat. Di udara, wewangian murahan aneka merek bercampur dengan peluh menyerobot masuk ke lubang hidung.
Pintu gerbang besi itu sendiri terdiri dari dua lapis, yang setiap lapisnya memiliki tiga pintu. Di bagian bawah dari tiap pintu ada batangan besi yang dipasang melintang sehingga, ketika akan melewatinya, para buruh harus mengangkat kakinya lebih tinggi. Setelah melewati pintu-pintu tersebut bukan berarti mereka bisa langsung tiba di pabrik-pabrik tempatnya bekerja. Pintu yang mirip pintu penjara itu hanyalah gerbang masuk ke areal KBN, yang di dalamnya terdapat 132 pabrik.
Untuk bisa sampai di pabrik masing-masing, mereka masih harus berjalan sejauh beratus-ratus meter lagi. Yang pabriknya kebetulan terletak di ujung atau di tengah kawasan seluas 20 hektare itu, biasanya tak ada pilihan kecuali menumpang angkot yang dioperasikan pengelola KBN. Sudah naiknya harus berebut, ongkosnya pun Rp 1.000--harga yang cukup mahal bagi pekerja rendahan. Tersedia juga ojek sepeda motor, tapi tarifnya Rp 4.000 sekali jalan. Karena itu, jenis angkutan ini jarang jadi pilihan mereka.
Karena jarak ke pabrik rata-rata cukup jauh dari pintu gerbang KBN--umumnya ditempuh dengan berjalan kaki--para buruh itu tidak langsung menuju pabriknya. Mereka biasanya beristirahat sejenak dan membeli sekadar penganan dari para pedagang makanan yang menggelar jualannya di sebuah tanah lapang tak jauh dari pintu gerbang. Ditaruh di piring kertas, mereka melahapnya begitu saja dengan duduk di lantai paving block, beralaskan sandal atau koran bekas. Sesekali ada di antara mereka yang terlihat baku tukar makanan. Seperti ingin mengusir kejenuhan dan rasa putus…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Masih Terganjal Bahan Pokok
2007-12-02Denyut perekonomian indonesia sepanjang triwulan ketiga yang lalu terus membaik. para pemimpin teras perusahaan juga…
Tumbuh Bersama Sejumlah Risiko
2008-06-08Pertumbuhan ekonomi pada triwulan pertama bisa jadi mengejutkan sejumlah kalangan. di tengah badai harga minyak…