Menjenguk Teater Utan Kayu Versi Jepang

Edisi: 42/29 / Tanggal : 2000-12-24 / Halaman : 79 / Rubrik : LAY / Penulis : Suyono, Seno Joko , ,

LETAKNYA di dekat pekuburan di daerah Higashinakono, dekat Shinjuku, Tokyo. Mula-mula sebuah garasi kosong. Lalu kami turun melingkar-lingkar sampai empat tingkat di bawah tanah. Ternyata, penonton sudah berdesakan di sebuah kafe kecil yang artistik. Angin dingin yang menggigilkan di atas jadi agak tak terasa.

Manteboshi, nama tempat pertunjukan itu, baru dibuka bulan ini. Seperti di Teater Utan Kayu, Jakarta, sepatu penonton harus dititipkan terlebih dahulu di kotak-kotak kecil. Malam itu teater Ryosenpaku, dengan sutradara Sujin Ki, mementaskan Kyuketsu (Ratu Pengisap) karya Juro Kara. Kedua seniman itu keturunan Korea. Karcis 3.200 yen (sekitar Rp 250 ribu). "Bila ada gempa, jangan khawatir, ada tiga tempat keluar darurat. Kalau ada apa-apa, ikuti saya," seru seorang anggota teater, sembari mengatur penonton yang berdempet-dempetan.

Di Jepang, teater dengan ruang kecil itu disebut Shogekijo Engeki. Ia lahir dari gerakan antikemapanan terhadap teater-teater di gedung besar yang dianggap terlalu komersial. Syahdan, pentas-pentas mungil itu kemudian melahirkan pemberontakan estetika. Tahun 1940-an gerakan ruang alit itu menjadi simbol perlawanan terhadap fasisme dan militerisme. Kemudian tahun 1970-an menjadi periode yang masyhur karena melahirkan trend eksplorasi tubuh. Tak semuanya memang, seperti pernah ditulis Senda Akihiko dalam bukunya The Voyage of Contemporary Japanese Theatre, mencuat. Tapi sikap militansi berteater para eksponennya tampak terus dipegang hingga generasi kini.

Komponis Indonesia Djadug Ferianto, yang tengah belajar sakuhachi (seruling tradisional Jepang), misalnya, beruntung…

Keywords: -

---

Foto Terkait