Kuntoro Mangkusubroto: "secara Teknis, Pln Bangkrut"
Edisi: 36/29 / Tanggal : 2000-11-12 / Halaman : 40 / Rubrik : WAW / Penulis : , ,
PERJALANAN karir Kuntoro Mangkusubroto di Departemen Pertambangan dan Energi tak ubahnya seperti lintasan roller-coaster Halilintar di Dunia Fantasi Ancol.
Setelah memimpin sejumlah perusahaan negara dan beberapa jabatan penting di departemen yang kaya akan sumber daya alam itu, dia melesat menjadi direktur jenderal. Tapi, tak lama. Skandal emas Busang (1996) yang memalukan dan konfliknya dengan Menteri I.B. Sudjana melemparkannya dari lingkungan pertambangan. "Saya merasa karir saya sudah habis ketika itu. Rasanya seperti dipecat," ujarnya kepada TEMPO. Toh, ia belum selesai.
Telepon mantan presiden Soeharto, yang berdering pada suatu pagi Maret 1998, menarik dia kembali masuk ke lingkaran elite pertambangan. Kuntoro bahkan melesat lebih tinggi ke puncak. Dia diangkat menjadi menteri, menggantikan I.B. Sudjana, yang telah "memecat"-nya. Terbukti itu bukan pekerjaan mudah. Dalam perdebatan keras dengan wakil rakyat di DPR, Kuntoro harus menjelaskan kebijakan tidak populer, yakni kenaikan harga minyak yang menjadi salah satu picu keruntuhan rezim Soeharto. Tamat?
Belum. Kuntoro bertahan menjadi menteri dalam kabinet B.J. Habibie yang cuma sebentar. Dan pergantian rezim ke Abdurrahman Wahid tidak memupuskan minatnya dalam bidang pertambangan dan energi-dunia yang ditekuninya ketika kuliah di Institut Teknologi Bandung. Kuntoro adalah satu dari sedikit pejabat tinggi yang bersedia turun pangkat: dia kini puas "hanya" menjadi Direktur Utama PLN.
PLN yang sakit membutuhkan Kuntoro yang dikenal bertangan dingin.
Lahir 14 Maret 1947 di Purwokerto, Jawa Tengah, ayah lima anak ini mengawali karir sebagai dosen. Adalah Ginandjar Kartasasmita-Menteri Pertambangan dan Energi Orde Baru paling berkilau-yang mula-mula merekrutnya menjadi salah satu staf ahli. Lalu, karirnya melesat sebagai Direktur Utama PT Tambang Batu Bara Bukit Asam (1988-1989). Ia juga memimpin PT Tambang Timah (1989-1993) dengan prestasi yang sulit dilupakan: ketika harga timah jatuh di pasar dunia awal 1990-an, Kuntoro memangkas pegawai PT Timah dari 25 ribu orang menjadi 8.000 orang untuk menghemat pengeluaran. Perusahaan yang sudah merugi itu untung Rp 34 miliar setahun berikutnya.
Namun, sakit PLN terbukti lebih parah. Meski memiliki hak monopoli penyediaan listrik dan 28 juta pelanggan, PLN sedang menuju jurang kebangkrutan. "Empat tahun lalu, modal perusahaan ini masih Rp 30 triliun, akhir tahun ini akan nol bahkan negatif," kata Kuntoro. Sumber kejatuhan BUMN yang lebih raksasa dari Pertamina adalah ceritera klasik khas Orde Baru: kolusi dan amburadulnya manajemen. Ini bukan satu-satunya ironi yang harus dihadapi Kuntoro.
Seakan melengkapi "kisah tragis"-nya, PLN juga harus menghadapi sejumlah soal pelik lain: kasus listrik swasta yang diniatkan membuat murah harga listrik tapi justru akan menaikkan tarif listrik berlipat-lipat. Juga korupsi dan kolusi yang diwariskan Orde Baru, seperti dalam proyek raksasa gardu induk tegangan ekstratinggi (GITET) di Kediri, Tasikmalaya, dan Depok. Pekan lalu, PLN memutuskan tender ulang proyek GITET Tasikmalaya karena nilai proyek ini digelembungkan hingga tiga kali lipat.
Toh, Kuntoro belum putus asa. Dia mengaku punya sejumlah kiat untuk menarik PLN ke luar dari bayang-bayang kebangkrutan: menegosiasi kembali kontrak-kontrak yang merugikan, menaikkan harga listrik ke konsumen, dan meminta pemerintah menanggung utang.
Setelah sembilan bulan lebih "puasa" bicara, ia…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…