Ngaben: Reformasi Dalam Sebuah Prosesi
Edisi: 50/30 / Tanggal : 2002-02-17 / Halaman : 55 / Rubrik : SEL / Penulis : , ,
Bagaimana penyelenggaraan ngaben demokratis ini? Ikuti reportase wartawan Seno Joko Suyono, yang menyusuri Desa Pujungan di Tabanan, Bali, tempat berlangsung sebuah ngaben massal pekan lalu, dibantu oleh koresponden Made Mustika, dan fotografer Amatul Rayyani.
TAK ada bau gosong tubuh terbakar. Tak ada api yang menjilat petulangan berwujud patung lembu hijau. Tak ada asap tebal membubung tinggi, melumat bade mewah berhias boma (topeng berwujud raksasa). Apalagi bunyi gemeratak kayu-kayu Naga Bandapatung naga nan perkasa yang panjangnya beratus-ratus depa ituseperti biasa kita imajinasikan bila melihat berbagai postcard tentang ngaben di Bali.
Memang, ini bukan ngaben akbar para bangsawan Bali, yang biayanya menghabiskan ratusan juta atau miliaran rupiah, yang juga sarat dengan promosi terselubung, yang bau hangusnya membuat bergidik para turis atau kameramen televisi ngaben. Tak ada jenazah dalam arti sesungguhnya. Tak ada geni (api), juga tak ada turis, apalagi kamera televisi. Tapi suasana tak kalah meriah dan bahkan sarat misteri. "Hooo...," begitu teriakan bersama ketika kaki-kaki para buruh kopi, tukang ojek, buruh penganyam topi, perajin ukir yang bersepatu bot, bersarung lusuh penuh lumpur, yang menggotong bademenara pengusung jenazahmenapaki ketinggian jalan.
Ya, simak bagaimana tangkasnya para lelaki itu menyingsingkan otot, lalu dengan sikap garang, seolah melambung-lambungkan, memutar-mutarkan bade. Memekik. Membawa lari menurun curam ke setra (kuburan). Ya, inilah ngaben massal rakyat jelata ala masyarakat Pujungan, Kecamatan Pupuan. Sebuah desa yang letaknya 44 kilometer dari ibu kota Kabupaten Tabanan.
Di bade itulah bergelayutan para tetua keluarga. Para mangku yang berpakaian putih mengibas-ngibaskan tongkat berkepala burung kastuari. Burung yang sudah diawetkan itu lambang pemandu jalan arwah. "Awas, awas....," teriak mereka sembari bergantungan, saat bade agak doyong, menyebabkan poconganberisi mayat-mayatanterguncang-guncang akan jatuh. Tapi mereka yang menandu seolah makin histeris mengentak-entakkan kaki. Ada yang terperosok, ada yang hampir terjatuh.
Dan sesampai di setra, terjadilah sesuatu yang fantastis. Dari bade-bade itu puluhan ayam hidup dilemparkan ke udara. Udara seperti ditaburi hujan ayam. Sebelum ayam-ayam itu diterbangkan, lebih dahulu mereka dipatukkan ke pocongan, simbol jenazah. Tangan-tangan ribuan orang berusaha berebutan menangkapnya. Setelah itu dengan hati-hati pocongan diturunkan. Sebuah liang lahat panjang, mirip parit kecil sepanjang 30 x 2 meter, telah digali malam hari. Di situ berjajar peti-peti mati alit dalam dua baris sebanyak 83 buah. Lalu sanak saudara menjunjung pocongan dengan kain putih panjang kecil ke peti-peti itu.
Mereka dengan khusyuk memercik-mercikkan tirtha pangentas ke tubuh pocongan. Menggumamkan mantra, widyadara tumurun mapaging atman.... Seorang ibu tua di pinggir liang lahat dengan syahdu melantunkan tembang ngurugin layonmengantarkan setiap "jenazah" yang turun untuk ditanam. Entah sanak siapa dia. Yang jelas, tangannya mengusap setiap pocongan yang lewat.
Itulah puncak acara ngaben yang pekan lalu dilaksanakan di Pujungan. Ini memang sebuah tradisi pengabenan yang lain di…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…