Menafsir Dalam Kegelapan

Edisi: 31/29 / Tanggal : 2000-10-08 / Halaman : 80 / Rubrik : BK / Penulis : Budiman, Irfan , S., Endah W., Lebang, Tomi

PRAHARA Gerakan 30 September adalah magnet bagi ilmu sejarah. Setelah 35 tahun berselang, daya tariknya tak juga hilang. Salah satu penyebabnya adalah terlalu banyaknya pertanyaan seputar prahara berdarah ini yang belum tuntas terjawab.

Para ahli sejarah dalam dan luar negeri seperti berlomba untuk menguak selubung misteri itu dengan berbagai kajian. Tak mengherankan, setiap kali buku tentang peristiwa ini terbit selalu mengundang antusiasme publik. Setahun belakangan saja setidaknya ada empat buku dilempar ke pasar, di antaranya Menyingkap Kabut Halim 1965, Mendung di Atas Istana, Palu Arit di Ladang Tebu, dan Pleidoi Kol. A. Latief. Pekan lalu, diluncurkan dua buku karya Sobron Aidit-adik kandung D.N. Aidit, Ketua PKI saat pemberontakan itu meletus-Kisah Intel dan Sebuah Warung dan Cerita dari Tanah Pengasingan.

Meski tidak secara tegas mengetengahkan peristiwa itu secara langsung, buku yang berisi kumpulan catatan Sobron selama di Indonesia pasca-peristiwa dan selama pelariannya di Cina dan Prancis itu tetap menarik untuk diikuti. Melalui bukunya itu, Sobron ingin menggambarkan betapa berat beban yang dilakoninya. Dalam keadaan seperti itu, Sobron menggunakan sekitar 25 nama samaran.

Penerbitan buku-buku semacam ini menjadi penting karena masing-masing menyajikan perspektif yang baru dari peristiwa Gerakan 30 September (G30S) dan situasi serta akibat dari peristiwa itu. Selama ini, publik cuma dijejali sejarah versi pemerintah melalui buku atau propaganda seperti film Pengkhianatan G30S-PKI, yang secara simplistis menyimpulkan bahwa penjahatnya adalah PKI dan sang pahlawan adalah Soeharto. Sesederhana itukah? Pertanyaan itu belum terjawab. Yang jelas, berbagai perspektif baru itu…

Keywords: -

---

Foto Terkait