Debat Kloning Peta Jakarta
Edisi: 47/30 / Tanggal : 2002-01-27 / Halaman : 59 / Rubrik : IQR / Penulis : , ,
Ikuti argumentasi kedua belah pihak yang dikumpulkan oleh Tim Iqra TEMPO.
SECARIK memo dari Jacob Oetama, mantan Pemimpin Redaksi Kompas, membuat pusing kepala Petrus Waworuntu, Direktur Eksekutif PT Gramedia Asri Media. Memo itu singkat. Jelas. Isinya "perintah" menuntaskan persoalan peta Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek) buatan Riadika Mastra yang diterbitkan PT Bhuana Ilmu Populer (Gramedia Group), salah satu anak perusahaan Gramedia.
Memo itu berawal dari surat pembaca di harian Kompas, 23 Oktober 2001. Seseorang bernama Rudi S. Pontoh, yang beralamat di Pasarminggu, menulis surat pembaca di dua koran Ibu Kota. Melalui surat itu, Rudi menuturkan pengalamannya membeli peta. Di sebuah toko buku, ia berniat membeli peta Jabotabek edisi 2001/2002 karya Gunther W. Holtorf (dipublikasikan PT Djambatan) seharga Rp 199 ribu. Tapi ia kemudian memilih peta Jakarta edisi 2001/2002 terbitan PT Bhuana Ilmu Populer karya Riadika Mastra senilai Rp 159 ribu. Dilengkapi logo Dinas Pemetaan dan Pengukuran Tanah Pemerintah DKI Jakarta di sudut kiri sampulnya, peta yang terbit pada awal Oktober 2001 itu terlihat afdal.
"Peta Jakarta yang berlabel edisi 2001-2002 ini, setelah saya amat-amati, ternyata isinya mirip dengan peta Jakarta edisi 1997/1998 karya Gunther W. Holtorf. Kesamaannya tidak hanya pada desain cover depan, format halaman, tetapi juga pada warna, ukuran/jenis huruf, letak nama jalan, ukuran skala, dan beberapa bagian tidak penting yang sengaja ditambahkan atau dikurangi. Oleh karena "dikloning" dari peta Jakarta edisi lama, sudah barang tentu isunya sudah tidak baru lagi. Banyak nama jalan yang telah berubah atau nama jalan baru yang tidak tercantum dalam peta tersebut. Saya merasa tersesat dan salah jalan ," demikian sebagian isi surat Rudi tersebut.
Isi surat itu serta-merta membuat Petrus Waworuntu tersentak. Dia langsung menelepon Riadika Mastra dan setengah marah-marah. "Saya panik. Soalnya, saya sendiri juga awam tentang peta," ujarnya kepada TEMPO. Hari itu juga ia meminta Riadika Mastra menulis bantahan. Keesokannya (24 Oktober 2001), surat jawaban itu nongol di Kompas. Riadika Mastra, doktor pengindraan jauh dari Department of Civil Engineering, Universitas Tokyo, Jepang, menjawab sebagai berikut.
"Sehubungan dengan tulisan Saudara Rudi S. Pontoh perlu dijelaskan peta tidak ada yang namanya palsu maupun asli. Yang ada adalah peta dengan kadar up to date yang berbeda-beda. Gunther lama saya kenal dan sering berhubungan, bahkan peta-peta yang dia hasilkan datanya sebagian didapat dari saya dan dikloning (istilah Rudi S. Pontoh) dengan peta-peta lainnya sehingga menjadi peta yang ada sekarang ini.
Peta saya sudah menggunakan metode digital, sementara peta Gunther tahun 1997/1998 masih menggunakan metode manual yang datanya sebagian besar berdasarkan peta dari Dinas Pemetaan DKI dan Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional), di mana saya menjabat sebagai Head of Services and Information Center for Surveys and Mapping . Bagaimana Saudara Rudi Pontoh dapat menyimpulkan bahwa peta saya fotokopi dari Gunther? Setahu saya Gramedia Group tidak pernah menerbitkan karya bajakan dan tidak…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Dan Sang Guru Berkata...
2004-04-18Novel filsafat sophie's world menjadi sebuah jendela bagi dunia untuk melihat dunia imajinasi dan edukasi…
Enigma dalam Keluarga Glass
2010-04-11Sesungguhnya, rangkaian cerita tentang keluarga glass adalah karya j.d. salinger yang paling superior.
Tapol 007: Cerita tentang Seorang Kawan
2006-05-14pramoedya ananta toer pergi di usia 81 tahun. kita sering mendengar hidupnya yang seperti epos.…