Sebuah Dentang Dari Bukit Tinggi

Edisi: 35/32 / Tanggal : 2003-11-02 / Halaman : 112 / Rubrik : SN / Penulis : Suyono, Seno Joko , ,


KONGRES kebudayaan di Hotel Novotel itu usai sudah. Sebuah perhelatan yang menelan biaya Rp 4,2 miliar (plus prakongres di Bali dan temu budaya di 25 kota) dan menuai tudingan bahwa ini hanya kegiatan seremonial pelat merah. Banyak seniman muda di daerah tak acuh dan lebih girang meramaikan kegiatan yang didonasi sendiri seperti Biennale di Yogyakarta atau Journal Moment of Arts di Makassar.

Toh, sekitar 50 makalah dibicarakan dengan gairah. Suasana dingin Bukit Tinggi yang selama lima hari (19-23 Oktober) dibasuh hujan renyai itu, yang membuat beberapa peserta terkantuk-kantuk setelah makan siang—bahkan ditambah diskusi di komisi-komisi yang hanya dihadiri segelintir peserta—tak mengurangi semangat para pembicara.

”Kita tidak punya alasan bergembira,” demikian kalimat penutup Toeti Heraty, yang memoderatori dua pembicara pleno awal, Goenawan Mohamad dan Ignas Kleden. Pandangan Goenawan dan Ignas Kleden yang ”suram” tentang Indonesia sedari awal memang membayangi diskusi-diskusi. Bila diringkaskan, pokok pikiran keduanya adalah ”imajinasi Indonesia yang terbuka kini terancam berada pada titik nadir.”

”Tak mudah membawa Indonesia ke arah yang dibayangkan Hatta,” kata esais Goenawan Mohamad. Selama ini, kita ibarat sapu lidi, dengan berbagai keragaman komunitas di Tanah Air dipersatukan secara totaliter. Dan kini akibatnya, setelah ikatan longgar, bilah-bilah itu ”melesak” ke sana-kemari. Perlu didefinisikan kembali apakah Indonesia. Sedangkan Ignas menilai bahaya terbesar adalah nasionalisme etnis. Sosiolog ini menengarai tanda-tanda bangsa ini jatuh ke provinsialisasi. Ada gejala politik dan birokrasi yang berdasarkan identitas kedaerahan. ”Ini mengurangi terciptanya integrasi luas,” katanya.

Kongres Kebudayaan V ini—terlepas dari tidak hadirnya banyak pembicara utama, seperti Frans Magnis-Suseno, Mochtar Pabottingi, Nirwan Arsuka, I Made Bandem, dan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

A
Ada Keramaian Seni, Jangan Bingung
1994-04-23

Seminggu penuh sejumlah seniman menyuguhkan berbagai hal, bertolak dari seni pertunjukan, musik, dan seni rupa.…

M
Mempertahankan Perang Tanding
1994-06-25

Reog khas ponorogo bisa bertahan, antara lain, berkat festival yang menginjak tahun ke-10. tapi, di…

R
Reog Tak Lagi Menyindir
1994-06-25

Asal asul adanya reog ponorogo untuk memperingati perang tanding antara klanasewandono dengan singabarong.