Sabam Sirait: "saya Sering Ditertawakan, Tapi Terbukti Saya Benar"

Edisi: 46/30 / Tanggal : 2002-01-20 / Halaman : 46 / Rubrik : WAW / Penulis : Tanjung, Leanika


BERJUANG untuk demokrasi, persatuan, dan pembangunan berkeadilan sosial. Inilah tiga serangkai yang menjadi obsesi besar dalam hidup Sabam Sirait, Politisi yang sempat tak "dihitung" lagi ketika jabatan Sekjen PDI dipaksa lepas darinya pada Kongres PDI tahun 1986.

Karir politik pendiri PDI yang pecahannya menjadi PDI Perjuangan ini memang sarat benturan dengan penguasa saat itu. Banyak pemikiran dan perjuangannya, baik di bidang ekonomi maupun politik, harus kandas. Tapi itu tak membuat pengagum Bung Karno ini berhenti bersuara. Di Sidang Umum MPR tahun 1992, dia meminta agar Ketetapan MPR No. III/MPR/1988 tentang pemilihan umum diperbaiki. Tujuannya agar pesta rakyat itu lebih demokratis. Tapi Sabam kemudian dicap antipembangunan, dituduh melanggar UUD 45.

Sabam sudah melihat bahaya peranan tentara yang terlalu besar bagi kehidupan berdemokrasi. Di bidang ekonomi, dia sudah membicarakan perlunya undang-undang antimonopoli awal tahun 1970-an, juga undang-undang yang mengatur perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Julukan politisi avant garde, seseorang yang berpikir jauh ke depan, pun melekat padanya. Sebab, setelah puluhan tahun, pemikirannya terbukti banyak yang benar.

Menjadi politisi bukan tujuan hidup Sabam Gunung Panangian Sirait, demikian nama lengkapnya. Sulung empat bersaudara ini tadinya diharapkan ayahnya, Fridrik Hendrik Sirait, menjadi guru atau polisi. Tapi Sabam memilih Fakultas Hukum Universitas Indonesia, meski pelahap buku Bertrand Russel—penulis sosialis Inggris—ini tak menyelesaikan kuliahnya karena kesibukan berorganisasi.

Profesi sebagai pekerja politik dimulai pada 1961, ketika terpilih menjadi Sekretaris Dewan Pengurus Pusat Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Ayah empat anak kelahiran Tanjungbalai, Sumatra Utara, 13 Oktober 1936 ini kemudian menjadi sekjen tahun 1967. Pada tahun itu juga, Sabam terpilih menjadi anggota parlemen (DPR) sampai 1977. Dalam dua pemilu berikutnya, dia gagal menjadi anggota DPR. Dalam dua periode itu (1983-1992), politisi yang mengakui pemikirannya banyak dipengaruhi paham sosialis ini menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Apakah yang paling berkesan dalam kehidupan politisi ini? Mari kita dengar penuturan langsung dari Sabam Sirait.

Dengan dipapah teman, saya menaiki becak. Hari itu, pagi hari yang sunyi menggigit, 2 Oktober 1965, saya harusnya masuk rumah sakit karena dua kaki saya hampir diamputasi. Sejak tahun 1960-an saya menderita penyakit penyumbatan pembuluh darah balik di kedua kaki. Tapi saya memilih menghadiri undangan Mabes TNI, membicarakan upaya mengatasi keadaan akibat kudeta PKI. Walaupun sudah tidak bisa jalan, saya harus pergi.

Saya hadir sebagai Sekjen Parkindo, menggantikan ketua umum, Melanton Siagian, yang kebetulan sedang di Beijing. Saat itu ternyata hampir semua ketua umum partai ada di Beijing. Tak jelas benar kenapa hampir semua mereka ada di sana. Ketua Umum PNI Ali Sastrowidjojo, Ketum Parkindo Melanthon Siregar, NU, dan Partai Katolik. Mungkin menghadiri peringatan Hari Revolusi Cina yang jatuh tanggal 1 Oktober.

Becak berjalan ke Jalan Merdeka Selatan. Jalan menuju Mabes waktu itu sudah ditutup. Mobil sudah tak bisa masuk, apalagi becak. Namun saya tetap…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…