Menimbang Tema Sosial Dan Politik Dalam Seni Rupa
Edisi: 36/28 / Tanggal : 1999-11-14 / Halaman : 38 / Rubrik : LAY / Penulis : Chudori, Leila S. , Fadjri, Raihul , Riyanto, Agus S.
KUALA Lumpur tak pernah dikenal sebagai kota budaya. Tetapi, pekan silam, sebuah peristiwa budaya yang menarik terjadi. Di antara kilatan lampu kamera televisi dan ratusan wartawan dari 10 negara ASEAN peserta Philip Morris ASEAN Award 1999, perupa Ristyo Eko Hartanto dengan jenaka menjelaskan proses kreatifnya. Karyanya berjudul Permainan untuk Rakyat Indonesia, yang terpilih menjadi salah satu pemenang Juror's Choices Award, menurut pengajar ITB ini, adalah upayanya untuk menampilkan "permainan" politik di Indonesia. "Dalam permainan ini, the bad guy menurut saya tentu saja adalah pemerintah," katanya, yang kemudian disambut dengan gemuruh tawa. Tetapi Hartanto mengaku, dengan pemerintah baru yang terpilih sekarang, "karya saya hilang (artinya), karena ini adalah pemerintahan yang lebih baik."
Kuala Lumpur memang bukan New York. Tetapi seluruh proses acara penghargaan yang diselenggarakan di Galeri Nasional Malaysia, yang memiliki ruang pameran yang bagus itu, memperlihatkan bahwa kesenian dipelihara dengan baik. Hartanto adalah satu dari empat peserta Philip Morris ASEAN Award yang menampilkan tema politik dalam karyanya. Agaknya, tema sosial-politik bukan hanya monopoli Indonesia, tetapi seluruh kawasan ASEAN, yang beberapa tahun terakhir dirundung krisis moneter.
Kali ini, Grand Jury Prize, penghargaan Philip Morris yang utama tahun ini, jatuh di tangan Piwat Nophiran, perupa Thailand yang menampilkan lukisan Smiles in Contemporary Society. Inilah sebuah karya lukisan dan kolase yang mendeskripsikan sosok-sosok kalangan atas yang tersenyum di sebuah pesta, sembari memegang pisau di tangan masing-masing. Kemenangan serupa, dengan mendapatkan uang US$ 10.000 dan piala, pernah diraih oleh perupa Indonesia, Yuswantoro Adi, pada 1997. Penyelenggaraan penghargaan Philip Morris Award di Kuala Lumpur ini adalah yang keenam kalinya, yang terlaksana atas kerja sama dengan berbagai organisasi dari tiap negara peserta; di Indonesia pihak penyelenggara adalah Yayasan Seni Rupa Indonesia pimpinan Susrinah Sastrowardoyo. Kelima wakil Indonesia-tentu saja setelah melalui proses seleksi kompetisi tingkat nasional yang diikuti 926 peserta-memperlihatkan bahwa tema sosial-politik memang tengah menjadi sebuah "mode".
Mode barukah? Tentu saja tidak.
Karya para pelukis Persagi tahun 1930-an, Lekra tahun 1960-an, dan Gerakan Seni Rupa Baru tahun 1980-an, kita tahu, sarat dengan tema sosial-politik. Ini memang…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Saat Perempuan Tak Berdaya
2007-12-16Tidak ada senyum, apalagi keceriaan. tidak ada pula musik yang terdengar di film ini. dari…
Perjamuan Da Vinci
2006-05-28Bermula dari novel, lalu bermetamorfosis ke dalam film. di kedua bentuk itu, the da vinci…
YANG KONTROVERSIAL
2006-05-28Dan brown mengemukakan teori bahwa yesus mempercayai maria magdalena sebagai pemangku ajaran kristiani yang utama,…