Kebimbangan Kudus Putu Dan Slamet

Edisi: 16/29 / Tanggal : 2000-06-25 / Halaman : 95 / Rubrik : LAY / Penulis : Suyono, Seno Joko , ,


"Telegram itu berhenti di tanganku. Aku jadi teringat sajak Rendra: Ada telegram tiba senja. Kemudian pula ingat pada telegram yang diterima oleh Homerus, atas kematian kakaknya dalam cerita Saroyan: "Komedi Manusia". Tetapi aku tak lupa juga pada cerita seorang kawan Selamat Ulang Tahun kepad adiknya; juga telegram gila dari seorang kawan, dengan ucapan cinta: Aku cinta padamu...."

(dari novel Telegram, bab II, oleh Putu Wijaya)

INI sebuah kebimbangan yang dinyatakan dengan kata-kata. Inilah keindahan sastra. Dan ketika sebuah karya sastra diangkat ke layar putih, sejumlah persoalan bisa muncul. Bagaimana menerjemahkan serangkaian kata-kata puisi itu ke dalam bahasa gambar? Bagaimana meremas novel yang panjang dan tebal ke dalam karya visual sepanjang 110 menit? Memang tidak mudah. Apalagi para pembaca novel sastra itu tak kunjung bisa menyadari bahwa film-meski diangkat berdasarkan sebuah novel-adalah sebuah kesenian visual yang berbeda dengan kesenian merajut kata.

Kita ingat bagaimana mendiang Y.B. Mangunwijaya kecewa saat romannya tentang Roro Mendut diangkat ke layar putih oleh Ami Priyono. Ia menganggap film itu menyimpang dari novel aslinya sehingga ia tak bersedia namanya dicantumkan sebagai pengarang. Kita ingat Ernest Hemingway, yang konon berani mengganti seluruh biaya produksi film asalkan film yang berdasarkan novelnya tidak jadi diedarkan. Tapi, di sisi lain, film The English Patient-menggondol gelar film terbaik Academy Award tahun 1997-dianggap adaptasi yang berhasil dari novel Michel Ondaatje, pemenang Booker Prize 1992 .

New York Times memuji-muji film ini karena dianggap mampu membangkitkan kepercayaan bahwa semua novel, betapapun sulitnya, dapat diangkat menjadi film. Padahal, siapa pun yang pernah membaca The English Patient akan menyadari betapa banyak perbedaan antara film dan novel aslinya. Ondaatje membagi novel itu menjadi empat bagian tempat tiap-tiap tokoh, yakni Sang Pasien Almasy, Kathryn Clifton, Kip, dan Hana, memiliki pandangan dan kisahnya sendiri-sendiri hingga akhirnya bertemu. Tetapi, di dalam film, tentu saja terjadi pemadatan cerita, penyederhanaan plot, pengayaan karakter, dan pemusatan setting, dan bahkan akhir film yang berbeda. Contohnya ada satu bagian yang panjang dan mendalam tentang kehidupan Kip, sang penjinak bom asal India, yang sama sekali dibabat dalam film karena jika dimasukkan, film tersebut akan tidak fokus.

Ondaatje, yang juga terlibat dalam proses penulisan skenario film itu, bahkan menyarankan agar sutradara Anthony Minghella saat mengadaptasi tidak hanya menjadi "faithful echo" terhadap novelnya. Ia percaya kepada insting sinematik Minghella. Ia bersedia novelnya dicincang. Dan ketika Minghella mampu menyajikan asmara sang perawat dan pasien dengan menampilkan visualisasi lanskap gurun pasir, Ondaatje terkesima dengan erotisme yang timbul akibar gambar itu. "Saya merasa mendapat berkah tak terduga," katanya.

Bagaimana hubungan interteks antara novel Telegram dan film karya Slamet Rahardjo?

Novel yang ditulis Putu saat berusia 28 tahun ini adalah roman yang memenangi hadiah pertama sayembara mengarang roman DKI Jakarta, 1972. Para pengamat sastra menyebut, inilah novel Indonesia pertama yang menggunakan teknik stream of consciousness. Kisah ini dibangun dengan cara penuturan "monologue interieur"-percakapan diri sendiri. Pembaca disuguhi kekacauan pikiran tokoh yang berprofesi sebagai wartawan, yang tak mampu membedakan pikiran sehat dan angan-angannya.…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Saat Perempuan Tak Berdaya
2007-12-16

Tidak ada senyum, apalagi keceriaan. tidak ada pula musik yang terdengar di film ini. dari…

P
Perjamuan Da Vinci
2006-05-28

Bermula dari novel, lalu bermetamorfosis ke dalam film. di kedua bentuk itu, the da vinci…

Y
YANG KONTROVERSIAL
2006-05-28

Dan brown mengemukakan teori bahwa yesus mempercayai maria magdalena sebagai pemangku ajaran kristiani yang utama,…