Wawancara Slamet 'pandir Kelana' Danusudirdjo: "mereka Tahu Saya Tidak Bisa Dibeli..."
Edisi: 07/29 / Tanggal : 2000-04-23 / Halaman : 37 / Rubrik : WAW / Penulis : , ,
MESKI tak sama persis, R.M. Slamet Danusudirdjo, 75 tahun, mirip tokoh Elliot Ness dalam film The Untouchable, yang memerangi bos mafia Amerika, Alcapone, dengan prinsip antisuap. Selama menjadi birokrat, khususnya ketika menjadi Ketua Tim Walisongo yang menertibkan pelabuhan pada 1970-1975 dan menjabat Direktur Jenderal Bea Cukai Departemen Keuangan pada 1972-1973, Slamet juga menerapkan prinsip antisuap dalam bertugas. Namanya menanjak ketika ia berhasil merombak besar-besaran sistem pabean, yang waktu itu amburadul. Ia tak segan menindak perusahaan-perusahaan besar yang tidak membayar bea masuk barang sesuai dengan aturan.
Perjalanan karir Slamet di birokrasi cukup panjang. Sebagai militer, Slamet pernah menjadi instruktur di Akademi Militer Nasional Magelang dan pengajar di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat Bandung. Karir militernya terakhir adalah Deputi Asisten IV Kepala Staf Angkatan Darat bidang kekaryaan, dengan pangkat mayor jenderal. Setelah 1968, Slamet menjalani karir sipil sebagai Deputi Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bidang pengendalian pelaksanaan. Selagi menduduki jabatan yang sama, ia juga ditugasi Soeharto membentuk Tim Walisongo dan bertugas di Bea Cukai itu.
Selesai di jabatan "basah" tersebut, Slamet digaet Emil Salim, Menteri Perhubungan, untuk menjadi sekretaris jenderal departemen supergemuk itu pada 1973-1975. Selain membenahi kekusutan birokrasi di departemen, Slamet juga membenahi sistem perhubungan Indonesia. Pada 1983, Slamet diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Terakhir, ia menjadi Sekretaris Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri pada 1978-1984. Atas jasanya, Slamet memperoleh beberapa penghargaan dari pemerintah, antara lain Bintang Mahaputra Utama (1973) dan Bintang Gerilya.
Di balik "baju" birokrat seorang Slamet, ia punya "bilik" pribadi yang lain, yakni sebagai seorang penulis cerita dengan nama samaran "Pandir Kelana". Maklum, di luar karir militer dan sipil, Slamet punya kesukaan menulis novel berlatar sejarah. Hingga kini, ia telah menulis 9 judul novel, antara lain Kereta Api Terakhir (1981), Kadarwati: Wanita dengan Lima Nama (1982), Ibu Sinder (1983), Rintihan Burung Kedasih (1984), dan Suro Buldog: Orang Buangan Tanah Merah Boven Digul (1986). Dua novelnya didasarkan pada riset, yaitu Tusuk Sanggul Pudak Wangi (kelahiran Majapahit) dan Subang Zamrud Nurhayati (Aceh Darussalam). Bahkan, beberapa novelnya telah diangkat ke layar perak. Maka, tak mengherankan jika Slamet alias Pandir Kelana alias lagi Slamet Gebod-panggilan di lingkungan pergaulannya-pernah menjadi Rektor Institut Kesenian Jakarta.
Lelaki kelahiran Banjarnegara, Jawa Tengah, itu di usia senja masih tampak segar, walau rambutnya memutih. Setelah pensiun, bapak dua putra…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…