Panas Di Batam, Panas Di Minahasa

Edisi: 07/29 / Tanggal : 2000-04-23 / Halaman : 96 / Rubrik : EB / Penulis : Taufiqurohman, M. , Arjanto, Dwi , Adi, IG.G. Maha

RATUSAN pengusaha ramai-ramai meninggalkan ruang pertemuan Hotel Novotel, Batam. Ada gempa? Bukan. Sedianya, para pengusaha ini akan mendengarkan penjelasan pemerintah mengenai pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPn-BM). Mulai 1 April ini, begitu pemerintah pusat bertitah, Batam bukan lagi daerah bebas pajak-seperti yang selama ini dikenal.

Tapi, apa mau dikata, keputusan itu dinilai merugikan dunia usaha. Para pengusaha protes. Dengan beking penuh Kepala Kadin Daerah Batam, mereka "memboikot" penjelasan pajak itu, Senin lalu. Dua hari kemudian, giliran para buruh menduduki Kantor Pelayanan Pajak Batam, memprotes hal yang sama. "Pajak menaikkan biaya hidup," begitu moto mereka, kira-kira.

Mendapat tekanan begini besar, Pemerintah Daerah Kota Madya Batam mengambil inisiatif. Mereka memutuskan untuk menunda pelaksanaan keputusan pemerintah pusat soal pengenaan PPN dan PPn-BM tersebut. Ketua Otorita Batam, Ismeth Abdullah, yang menguasai administrasi dan pengelolaan Batam sebagai "daerah spesial", secara tak langsung mendukung penundaan keputusan Menteri Keuangan itu.

Makar? Pertanyaan yang sulit dijawab. Sekarang memang bukan lagi zaman Majapahit ketika kadipaten yang menolak menyetor upeti langsung diserbu militer pusat. Tapi, "Penolakan pemerintah daerah atas keputusan pusat menunjukkan pemberontakan," kata seorang pejabat pemerintahan di Istana Negara. Dan celakanya, pemberontakan gaya Batam ini juga berjangkit di beberapa tempat lain.

Di Minahasa, misalnya, pemerintah daerah meminta perusahaan tambang emas PT…

Keywords: -

---

Foto Terkait