Wawancara Purwoto S. Gandasubrata: "banyak 'orang Dalam' Jadi Calo Di Mahkamah Agung"
Edisi: 06/29 / Tanggal : 2000-04-16 / Halaman : 36 / Rubrik : WAW / Penulis : , ,
JAUH di masa kanak-kanak, Purwoto Suhadi Gandasubrata seolah tak pernah menanam cita-citanya. Mula-mula, ia ingin menjadi dokter, mengikuti jejak kakeknya, seorang dokter tersohor di Karawang, Jawa Barat. Belakangan, ia menukar impian menjadi ahli hukum. Kali ini, ia ingin meniru sang paman, Mr. Soedirman Gandasubrata, alumni sekolah hukum Leiden, Belanda, pertama dari Indonesia yang menjadi hakim.
Tak disangka, cita-cita yang lahir karena pengaruh lingkungan ditekuni Purwoto selama hampir empat dasawarsa: ia menjadi hakim selama 38 tahun. Jabatan terakhirnya adalah ketua Mahkamah Agung (1992-1994)-sekaligus menjadi puncak karirnya. Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini juga menjadi satu dari beberapa hakim karir yang berhasil mencapai jabatan puncak di lembaga yudikatif tersebut. Bukan rahasia lagi, sepanjang Orde Baru, pimpinan Mahkamah Agung (MA) banyak didrop dari luar-dengan restu presiden.
Ayah empat anak ini memulai karirnya sebagai hakim di Pengadilan Negeri Magelang, Jawa Tengah, pada 1956. Dua tahun kemudian dia menjadi Ketua Pengadilan Negeri Purwokerto hingga 1964. Pada periode ini, ia menjabat pula Ketua Pengadilan Militer Pekalongan (1959-1961). Setelah beberapa kali pindah tugas, Purwoto menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Barat pada 1969. Dari sini, ia pindah ke Mahkamah Agung, Jakarta, dan menjadi hakim agung dalam usia relatif muda: 45 tahun. Pada 1981, Purwoto diangkat menjadi wakil ketua MA. Jabatan ini ia pegang selama 11 tahun sebelum memimpin lembaga itu menjelang akhir masa karirnya.
Selama seperempat abad di MA, Purwoto menyaksikan merosotnya wiibawa dan citra lembaga itu, yang seharusnya menjadi puncak terakhir bagi para pencari keadilan di negeri ini. Ia juga menyaksikan sejumlah peristiwa sepanjang Orde Baru yang membuat MA menjadi tempat para penguasa menitipkan kepentingan. "Tumpukan perkara di MA menggunung dan menjadi sumber kolusi," ujarnya kepada wartawan TEMPO Hendriko L. Wiremmer, yang menemuinya untuk sebuah wawancara khusus, pekan lalu.
Petikannya:
Kasus pemalsuan vonis dan calo pengadilan di MA kini ramai dibicarakan. Apakah praktek ini sudah banyak terjadi saat Anda memimpin MA?
Oh, sudah terjadi. Ada putusan yang berbeda dengan putusan asli, misalnya pemalsuan perintah eksekusi. Itu terjadi pada saat Ali Said menjadi ketua MA. Ada telegram untuk menghentikan perintah eksekusi padahal telegram itu tidak pernah ada.
Bagaimana para calo berpraktek pada masa itu?
Calo-calo ini aktif gentayangan di MA, menjanjikan memenangkan perkara dan menjadi penghubung ke para hakim agung. Sehingga, saya pasang plang, "Yang Boleh Menerima Tamu Hanya Para Direktur", agar para direktur di lingkungan MA saja yang boleh terima tamu. Tapi tetap saja susah mengontrolnya.…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…