Wawancara Ishak Djoearsa: "sejak 1967, Pak Harto Sudah Seperti Imam Yang Batal Wudu"
Edisi: 04/29 / Tanggal : 2000-04-02 / Halaman : 38 / Rubrik : WAW / Penulis : , ,
PADA pertengahan 1970-an, seorang mayor jenderal Angkatan Darat tiba-tiba melesat ke tengah panggung politik nasional. Perwira dengan dua bintang di bahu itu bernama Ishak Djoearsa, bekas Pangdam I/ Iskandar Muda, Aceh (1964-1967). Bukan soal Aceh yang membuat namanya populer, melainkan usulannya agar Bung Hatta dicalonkan menjadi presiden RI periode 1972-1977. Ini sikap yang amat melawan arus, mengingat di masa itu "kor" mendukung Soeharto mulai lantang bergema. Pemilu 1972 diwarnai banyak kecurangan. Pegawai negeri dan ABRI bahkan dipaksa mencoblos Golkar-yang kemudian menang dan mencalontunggalkan Soeharto sebagai presiden RI.
Ishak mengaku tidak punya permusuhan pribadi dengan Soeharto. "Saat itu saya hanya melihat kita perlu figur yang bersih, pandai, berpengalaman, serta bertakwa. Bung Hatta menyimpan semua unsur ini di dalam dirinya." Sementara Pak Harto? "Sejak 1967, saya sudah menetapkan dia ibarat imam yang sudah batal wudu. Jadi, tak perlu lagi diikuti," ujarnya.
Sikap itu bukan tanpa latar belakang. Tatkala berdinas di Aceh, ia pernah menangani kasus penyelundupan hasil pertanian ke Malaysia melalui perairan Aceh oleh pengusaha Probosutedjo. Soeharto kemudian memanggil Ishak ke Jakarta dan meminta agar kasus penyelundupan oleh adik tirinya itu didenda damai atau dipetieskan saja. Jawab Ishak: "Saya tidak punya kuasa melakukan itu. Tapi kalau Bapak betul-betul ingin, silakan perintahkan Jaksa Agung, karena dia yang punya wewenang." Tak lama kemudian, kasus diputuskan selesai oleh Jaksa Agung Soegiharto.
Pengalaman itu membuat Ishak kemudian melobi sejumlah politisi dan orang partai untuk mencalonkan Bung Hatta dalam Pemilu 1972. Gerakan ini gagal. Dan Ishak harus "membayar" kontan upayanya: ia dicopot dari jabatan Duta Besar RI untuk Yugoslavia (1976). Mantan Pangdam IV/Sriwijaya ini juga dikenai tahanan rumah selama 19 bulan. Sejak 1980, namanya praktis menghilang dari arena politik. Ayah tujuh anak kelahiran Gunungbatu, Bogor, itu lantas banting setir menjadi pengusaha farmasi.
Pekan lalu, ia menerima wartawan TEMPO Edy Budiyarso, Hermien Y. Kleden, dan fotografer Mahanizar untuk sebuah wawancara khusus. Di kantornya yang nyaman di lantai tujuh Menara Saidah, Jakarta Selatan, ia menjawab semua pertanyaan dengan suara meledak-ledak, sepanjang empat jam lebih. Petikannya:
Penyair Aceh Ibrahim Kadir, aktor utama dalam film Puisi Tak Terkuburkan karya Garin Nugroho-yang mengisahkan pembasmian para penyair Aceh yang dituduh terlibat PKI, pada Oktober 1965-menyebut Pangdam Iskandar Muda (ketika itu dijabat Ishak Djoearsa) membidani pembasmian itu. Apa komentar Anda?
Saya tidak pernah memerintahkan membunuh orang PKI di Aceh. Pada waktu itu memang ada yang ditahan, tetapi kemudian dibebaskan, termasuk Ibrahim Kadir. Kekerasan antarmasyarakat sudah berlangsung di Aceh sejak revolusi sosial di awal kemerdekaan: bentrokan antara Teuku dan…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…