Wawancara Soedjono Ch. Atmonegoro: "korupsi Di Kejaksaan Sudah Berlangsung Lama"
Edisi: 03/29 / Tanggal : 2000-03-26 / Halaman : 40 / Rubrik : WAW / Penulis : , ,
SOEDJONO Chanafiah Atmonegoro, 61 tahun, adalah satu dari sedikit jaksa karir yang bisa mencapai kursi nomor satu di Kejaksaan Agung. Selama Orde Lama dan Orde Baru, jabatan itu umumnya menjadi langganan tentara. Ayah tiga anak-yang diangkat Presiden Soeharto menjadi jaksa agung-ini juga mencatat sebuah rekor unik dalam sejarah kejaksaan. Ia memimpin lembaga itu hanya dalam waktu 88 hari.
Sebuah audit hukum terhadap berbagai yayasan Presiden Soeharto agaknya membuatnya dicopot dari kursi jaksa agung. Berdasarkan hasil audit hukum-yang dilakukan BPKP atas permintaan Soedjono-itu, jaksa agung menetapkan Presiden Soeharto sebagai tersangka kasus korupsi. Dan hasil inilah yang ia serahkan kepada Presiden Habibie pada 15 Juni 1998. Lima jam setelah peristiwa itu, Soedjono harus menyerahkan pula jabatannya.
Pencopotan jaksa agung yang menelisik KKN para elite birokrasi hanyalah satu sisi Kejaksaan Agung. Lembaga ini memang kaya dengan kisah-kisah kontroversial. Tudingan korupsi dan suap, misalnya, telah melekat dan mencoreng-moreng institusi peradilan itu selama sekian tahun. Soedjono sendiri bukan tanpa tudingan tidak bersih. Ia dikabarkan punya rumah mewah di Australia, sebagai hasil "damai" dengan para pencari perkara. "Orang boleh bilang apa saja. Lagi pula, nama saya memang masih laku dijual sampai hari ini. Soal kekayaan? "Saya siap diaudit kapan saja. Itu sudah saya bilang sejak masih jadi pejabat," ujarnya kepada wartawan TEMPO, Edy Budiarso, yang mewawancarainya di Jakarta, pekan silam.
Pria kelahiran Pamekasan, Madura, 4 Juni 1939, ini memulai karir dari bawah. Pilihannya menjadi jaksa banyak dipengaruhi pandangan tradisional tentang jabatan jaksa di kalangan masyarakat Madura. Di kampung halamannya, orang-orang menaruh hormat yang dalam kepada para jaksa. "Bahkan, orang-orang Arab sebagai kaum keturunan Nabi selalu menundukkan kepala jika berpapasan dengan jaksa," tuturnya. Setelah lulus studi di Fakultas Hukum Universitas Airlangga pada 1964, Soedjono menetapkan pilihan: mendaftar sebagai jaksa.
Jabatan itu tidak langsung memberinya kemapanan ekonomi. Ia beruntung ditopang Siti Sharah, asal Tasikmalaya, yang mahir berjual-beli rumah. "Dari istri, saya belajar bisnis," tuturnya kepada TEMPO. Suatu ketika, pada 1970-an, tatkala menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Singaraja, Bali, ia tak punya ongkos berdinas ke Jakarta. Soedjono lalu teringat "ilmu bisnis" dari sang istri. Ia berhasil menjual 250 ekor sapi jatah Kajari untuk ongkos. "Sekalian mengisi kas Kajari," ujar Soedjono sembari tertawa lebar.
Pria yang gemar bicara blak-blakan ini banyak berpindah tempat sebelum "menetap" di Kejaksaan Agung dan memimpin lembaga itu hingga Juni 1998. Kini, Soedjono kembali berpraktek sebagai ahli hukum di kantor konsultan hukum milik Basuki Dwi Nugroho (37), anak sulungnya yang meniru jejak sang ayah sebagai ahli hukum.
Di sela-sela kegiatan kantor, ia memberikan kesempatan sebuah wawancara khusus kepada TEMPO.
Petikannya:…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…