Wawancara Teuku Jakob: "situasi Sekarang Sudah Bisa Dilihat Pada 1960-an"
Edisi: 51/28 / Tanggal : 2000-02-27 / Halaman : 36 / Rubrik : WAW / Penulis : , ,
RUMAH dinas itu berdiri di kawasan yang sepi dan tenteram, di Bulaksumur, Yogyakarta-tempat orang bisa membaca tanpa terusik. Di rumah penuh buku di dalam perumahan dosen Universitas Gadjah Mada itulah Teuku Jakob berdiam. Tapi, "Begitu banyak buku dan begitu sedikit waktu," begitu ia selalu berkata. Kini, guru besar antropologi ragawi yang tersohor itu mulai cemas karena rumahnya tidak bisa dimuati buku lagi. Padahal, selain ia sendiri kerap membeli, banyak orang senang mengirimkan buku kepada profesor tua itu.
Buku adalah bagian tak terpisahkan dari seorang ilmuwan dan akademisi-dua dimensi yang menemukan harmoni dalam diri Prof. Dr. Teuku Jakob. Ia adalah antropolog ragawi pertama di negeri ini. Ia memperkenalkan ilmu itu ke Indonesia, mengajarkannya di kampus, mendirikan laboratorium penelitian, dan setia menekuni ilmu "langka" itu selama puluhan tahun.
Lahir di Peureulak, Aceh Timur, 6 Desember 1929, Jakob adalah keturunan keluarga bangsawan Aceh. Ia menyelesaikan studi kedokteran di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1956. Ayah seorang putri ini lantas melanjutkan studi di University of Arizona Graduate College, Tucson, Arizona (1957-1958), Howard University Graduate School, Washington, DC (1958-1961), dan Providence Hospital, Washington, DC (1960-1961), sebelum kembali ke Indonesia.
Pada 1963, ia mencatat penemuan fenomenal yang memasyhurkan namanya, baik di Indonesia maupun di komunitas internasional antropologi: fosil Sangiran. Penemuan ini membuatnya meraih beasiswa program doktor di Rijksuniversiteit, Utrecht, Belanda (1966-1968). Di Utrecht pula ia bertemu dengan Prof. Koenigswald, guru besar yang dia kagumi dan banyak memengaruhi jalan hidupnya sebagai ilmuwan.
Sepanjang hidupnya, Jakob menulis sembilan buku dan lebih dari 200 artikel ilmiah, menjadi anggota berbagai perkumpulan internasional di bidang ilmu dan sains, serta menerima sepuluh penghargaan dari berbagai negara. Di Yogyakarta, kota tempatnya berdiam lebih dari setengah abad, ia mengajar di lima fakultas di lingkungan UGM. Ia juga sering terbang ke luar negeri sebagai dosen tamu, berbicara di seminar internasional, dan-tentu saja-melakukan penelitian.
Kantornya di lantai dua Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi UGM hanya dihiasi patung kepala manusia purba dan foto Prof. Koenigswald. Di sana ada satu set kursi tamu mengisi ruangan, yang diramaikan oleh sejumlah ember untuk menampung bocoran air hujan. Desember silam, profesor tua ini pensiun. Setelah itu, ia tetap berniat berkantor, tapi di lantai satu karena, "Saya sudah tidak kuat turun-naik tangga," ujarnya kepada wartawan TEMPO R. Fadjri, yang menemuinya dua pekan lalu di Yogyakarta untuk sebuah wawancara khusus.
Petikannya:
Apa perlunya antropologi ragawi dalam kehidupan modern?
Bokong Saudara bisa duduk dengan pas di atas kursi karena ada antropologi teknik. Senapan seberat 80 kilogram bisa dibawa sembari berlari oleh anggota Kopassus adalah berkat jasa antropologi teknik…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…