Bayi-bayi Dijual: Krisis Ekonomi, Seks Bebas, Atau Bisnis?
Edisi: 04/27 / Tanggal : 1998-11-02 / Halaman : 39 / Rubrik : INVT / Penulis : Setiyardi , Prabandari, Purwani D, Cahyani, Dewi
TELEPON berdering di kantor redaksi TEMPO, Kamis pagi pekan silam. Eddy Hidayat dari Yayasan Aulia, Jakarta, berbicara di seberang sana. "Ada orang yang ingin menjual bayinya kepada Anda. Kalau ingin bicara, datang segera ke kantor." Jadilah. Seorang reporter diutus ke lapangan untuk menemui calon penjual. Tanpa dibekali uang kontan, tentu saja, karena mingguan berita ini memang tak berniat belanja orok, melainkan "sekadar" mengobrol dengan Ibu Endang -- bukan nama sebenarnya -- yang ingin "mengijon" kandungannya. Begitulah, orok yang "dinegosiasikan" itu masih berada dalam perut Endang. Usianya sekitar tujuh bulan.
Astaghfirullah. Kok ada ibu yang tega menjual anak? Sudah begini parahkah krisis moneter? Atau, inikah bagian lain dari krisis "tanggung jawab" di negeri ini? Yang jelas, tak terlalu mudah menyalahkan ibu-ibu yang menunggu pembeli untuk anak yang dikandungnya itu. Bagi beberapa yayasan sosial yang mengurus bayi dan anak-anak telantar, ihwal "ibu jual anak" ini praktis bukan perkara baru. Yayasan Aulia, misalnya. Lembaga pimpinan Lestari Projosuto, 53 tahun, ini sudah memulai aktivitasnya -- seperti mengurus pendidikan anak telantar -- sejak 1975. Belakangan, mereka juga menampung bayi yang dilepas orang tuanya (lihat: Sebuah Payung bagi Anak Telantar).
Alhasil, Eddy Hidayat dan kawan-kawan kerap benar menerima telepon dari orang yang ingin menyerahkan atau mengijon bayinya kepada orang lain. Salah satunya, yang ditawarkan sang ibu kepada wartawan TEMPO di atas. Pasal tawaran ini sebetulnya berawal dari kunjungan wartawan mingguan ini -- untuk membuat reportase kehidupan bayi miskin -- ke daerah bantaran kereta, Kabelan dan Gaplok, Senen, Jakarta Pusat, bersama salah seorang relawan Yayasan Aulia. Tak sampai 24 jam kemudian, telepon berdering, menawarkan bayi....
Seperti hukum pasar, ada permintaan maka ada penawaran. Ada "barang", ada harga. Kualitas oke, harga cocok, silakan gendong anak yang diinginkan. Namun berbicara soal bayi adalah berbicara soal manusia. Dan ketika urusan "lego-melego" mencuat ke permukaan, tetap saja terasa ada yang menusuk perasaan.
Namun, di sisi lain, pemindahtanganan bayi dengan cara "remang-remang" ini membuka harapan bagi keluarga yang mendambakan anak. Berapa banyak ibu-ibu yang rela bertahun-tahun menjalani terapi, sekadar untuk bisa melahirkan seorang bayi? Untuk mengadopsi anak melalui jalur legal, jelas berliku-liku, panjang, melelahkan, dan butuh biaya tak sedikit. Maka, di zaman…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Muslihat Cukong di Ladang Cepu
2008-01-13Megaproyek pengeboran di blok cepu menjanjikan fulus berlimpah. semua berlomba mengais rezeki dari lapangan minyak…
Terjerat Suap Massal Monsanto
2008-02-03Peluang soleh solahuddin lolos dari kursi terdakwa kejaksaan agung kian tertutup. setumpuk bukti aliran suap…
Hijrah Bumi Angling Dharma
2008-01-13Blok cepu membuat bojonegoro tak lagi sepi. dari bisnis remang-remang hingga hotel bintang lima.