Keruhnya Swastanisai Pam Jaya
Edisi: 06/28 / Tanggal : 1999-04-19 / Halaman : 39 / Rubrik : INVT / Penulis : Wicaksono
TERISTYADI mestinya bekerja seperti biasa pagi itu. Tapi, dua pekan lalu, tingkah laku karyawan Kantor Wilayah IV Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya) di Jalan Perdana, Tubagus Angke, Jakarta Barat ini tampak berbeda dari biasanya. Bersama dengan 350 rekan kerjanya yang berseragam baju biru dan bercelana warna gelap, ia terlihat cuma duduk-duduk bergerombol sembari ngobrol. Ada apa gerangan?
Ternyata, terhitung sejak pukul 07.00, 31 Maret silam, para karyawan PAM Jaya itu sedang melakukan aksi demonstrasi sekaligus mogok kerja. "Aksi ini murni benar-benar dari kami," kata Teristyadi seperti mencoba meyakinkan bahwa gerakan mereka tidak ada yang menunggangi.
Walau tak ada yang menunggangi, suasana tetap meriah. Seperti laiknya sebuah unjuk rasa, karyawan memajang poster warna-warni di tembok kantor. Teksnya macam-macam, antara lain "Sesuaikan gaji kami", "Kami karyawan tuntut keadilan", "Dulu kakek saya dijajah Belanda, bapak saya dijajah Jepang, saya dijajah Prancis, kapan kami berhenti dijajah?".
Aksi unjuk rasa karyawan PAM Jaya berulang Kamis pekan lalu. Kali ini di Kantor Pusat PAM Jaya, di Pejompongan, Jakarta Pusat. Jumlah pesertanya pun meningkat jadi sekitar 2.000 orang. Mereka menuntut agar PAM Jaya melepas kerja sama dengan mitra-mitra partikelirnya: PT PAM Lyonnaise (Palyja) dan PT Thames PAM Jaya (TPJ). Alasannya, kerja sama itu merugikan.
Demo tersebut sebetulnya sekadar ekor dari amburadulnya persoalan kerja sama antara PAM Jaya dan mitra swasta. Adapun latar belakang semua persoalan itu begini. Selama bertahun-tahun distribusi air PAM Jaya sangat buruk. Tingkat kebocoran yang terjadi rata-rata di atas ambang toleransi 20 persen dari kapasitas produksi (lihat tabel Persentase Kebocoran). Kebocoran itu antara lain disebabkan oleh kerusakan pada jaringan pipa transmisi dan distribusi (karena sudah tua), meteran rusak, dan pencurian. Akibatnya perusahaan daerah ini menderita rugi besar_selama tiga tahun terakhir ini saja mencapai lebih dari Rp 166 miliar (lihat tabel Matematika Kerugian Akibat Kebocoran).
Melihat keadaan ini, bekas presiden Soeharto lantas memberi petunjuk Menteri Pekerjaan Umum waktu itu, Radinal Mochtar, pada 12 Juni 1994 untuk mengalihkan pengelolaan usaha air minum di Jakarta dan sekitarnya kepada swasta. Maksudnya baik, yakni untuk menurunkan tingkat kebocoran tadi. Tapi sebetulnya lucu juga, masa seorang presiden sampai turun tangan mencampuri urusan domestik semacam ini, padahal mestinya cukup ditangani gubernur.
Tiba-tiba seperti elang menyambar mangsa, PT Kekar Plastindo mengirim surat nomor 038/Ext.KP/FT/VIII1994 ke…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Muslihat Cukong di Ladang Cepu
2008-01-13Megaproyek pengeboran di blok cepu menjanjikan fulus berlimpah. semua berlomba mengais rezeki dari lapangan minyak…
Terjerat Suap Massal Monsanto
2008-02-03Peluang soleh solahuddin lolos dari kursi terdakwa kejaksaan agung kian tertutup. setumpuk bukti aliran suap…
Hijrah Bumi Angling Dharma
2008-01-13Blok cepu membuat bojonegoro tak lagi sepi. dari bisnis remang-remang hingga hotel bintang lima.