Sarbini Sumawinata: "kerajaan Ini Harus Kembali Jadi Republik"

Edisi: 06/28 / Tanggal : 1999-04-19 / Halaman : 64 / Rubrik : WAW / Penulis : Hidayat, Agus , Wicaksono, Kleden, Hermien Y.


SEPULUH tahun silam, sebuah buku diterbitkan untuk menghormati seorang tokoh yang berhari jadi ke-70. Judulnya tidak luar biasa: Menuju Masyarakat Adil Makmur. Namun, "Buku ini unik dan mengandung nilai lebih," tulis Dr. Sjahrir, sang penyunting dalam pengantarnya. Keunikannya, antara lain, terletak pada cara menulis di luar "stereotip buku-buku ulang tahun". Ia tidak semata-mata memuat kumpulan tulisan tentang sang tokoh dari rekan dan kenalan dekat. Bagian terpenting justru membahas karangan-karangan sang tokoh dalam rentang waktu 35 tahun, antara 1953 dan 1988.

Disengaja atau tidak, penulisan buku itu akan mencerminkan kepribadian sang tokoh, yang tidak terkungkung dalam stereotip arus zaman. Ia belajar ekonomi tapi lebih merasa sebagai politisi. Ide-idenya tentang model "ekonomi kerakyatan" tidak dipedulikan Orde Baru. Toh sampai hari ini ia bersikukuh, cara itu akan lebih membawa rakyat pada kemakmuran: memperkuat mereka dengan alat-alat produksi yang lebih modern ketimbang menerapkan model ekonomi yang semata-mata mengejar pertumbuhan.

Ia bukan doktor ekonomi gilang-gemilang. Studinya di Harvard (1954) hanya mencapai master. Bahkan ia masuk ke perguruan elite Amerika itu berkat keberanian yang naif karena "saya tidak tahu apa sesungguhnya Harvard". Ia juga orang Indonesia pertama yang memimpin Biro Pusat Statistik (1955-1965) tanpa pengetahuan berarti tentang statistik. Dan ia menolak tawaran Soeharto menjadi duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat karena merasa "tidak percaya lagi pada rezim, sejak jauh di awal pemerintahan Soeharto."

Ia mengaku, hidupnya "menjadi lengkap" dengan dua tahun ia bermukim di rumah tahanan tanpa peradilan karena dituduh menjadi dalang Peristiwa Malari 1974. "Di sana saya tahu, ada satu hal yang tak bisa dirampas dari manusia: kebebasan," ujarnya. Di sana ia juga bergaul dengan para gembong PKI, yang menurut pendapatnya "ternyata tidak lebih dari kaum priayi Jawa yang tidak paham apa sesungguhnya komunisme".

Tokoh ini memuja Sutan Sjahrir, yang disebutnya sebagai "my political guru". Namun, sosialisme tak bisa memupus kebiasaannya naik mobil Eropa dan berdiam di Jalan Brawijaya, sebuah kawasan elite di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di sela-sela waktu ia mendengarkan Eine Kleine Nacht Music dari Mozart, Symphony No.9 Beethoven, dan nomor-nomor jazz klasik. Sesekali ia bermain biola dan kecapi.

Ia bukan tipe orang tua sakit-sakitan. Rambutnya seperti disepuh perak, tapi gerak-geriknya lincah, hasil olah raga rutin jalan kaki…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…