Soedarpo Sastrosatomo: "program Benteng Hasilnya Nol"
Edisi: 03/28 / Tanggal : 1999-03-29 / Halaman : 56 / Rubrik : WAW / Penulis : Pudjiarti, Hani , Wicaksono, Kleden, Hermien Y.
TIDAK semua orang seberuntung Soedarpo Sastro-satomo. Lahir jauh sebelum paruh pertama abad ke-20, dia boleh bersyukur menyaksikan serangkaian peristiwa kaleidoskopis: dua masa kolonial yang membuatnya membenci fasisme, aktif di lingkungan kaum muda pergerakan nasional, terlibat dalam lobi diplomatik pada masa awal kemerdekaan, dan masih dalam keadaan bugar menyaksikan kejayaan maupun runtuhnya Orde Baru.
Lahir di Pangkalansusu, Sumatra Utara, pada 30 Juni 1920, ia adalah anak nomor lima dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Sadeli Sastrosatomo, seorang kepala mantri candu. Dan ibunya, Sarminah, putri asisten wedana, praktis membesarkan sendiri anak-anaknya setelah suaminya berpulang pada 1929. Ia membawa anak-anaknya kembali ke Klaten, Jawa Tengah, di mana Soedarpo melewatkan sebagian masa kanak-kanak dan remaja.
Dari ibunyalah Soedarpo belajar bahwa budaya yang berbeda tetap bisa ditumbuhkan dalam harmoni: muslimah yang taat itu tak ragu-ragu mengirimkan putra-putrinya ke sekolah Katolik_sembari mewajibkan mereka belajar mengaji di sore hari. "Di sekolah Katolik, ilmu-ilmu dunia dipelajari dalam disiplin tinggi," ujar Soedarpo mengutip kata-kata ibunya, jauh di masa lampau.
Ia menyelesaikan Katholieke HIS di Klaten (1934), MULO (1937), dan AMS (1940) di Yogyakarta. Ayah tiga putri ini kemudian belajar kedokteran di Geneeskundige Hogeschool (kini Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia). Studinya terpotong ketika Jepang masuk pada 1942. Ia dikeluarkan oleh Jepang dari kampus karena dianggap menjadi dalang mogok kuliah mahasiswa. "Saya tidak sedih. Saya menganggap tindakan kami adalah bagian dari pergerakan dan perjuangan kebebasan," ujarnya. Bersama Soedjatmoko, ia bergabung dengan Sutan Sjahrir melakukan gerakan bawah tanah.
Setelah proklamasi, ia terjun ke bidang jurnalistik, bekerja di mingguan Het Inzicht. Sempat bekerja di staf kementerian penerangan bagian luar negeri (1945-1948), Soedarpo diangkat menjadi anggota delegasi Indonesia ke Dewan Kemanan Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York (1948-1950), lalu menjadi pejabat humas di KBRI Washington (1950-1952). Inilah tahun-tahun terakhir ia berkarir sebagai diplomat. "Saya mengundurkan diri karena sejak lama saya tahu bahwa saya tidak mampu bekerja sebagai pegawai pemerintah," ujarnya kepada wartawan TEMPO Hani Pudjiarti, Wicaksono, Hermien Y. Kleden, dan fotografer Robin Ong, yang mewawancarainya pada Kamis pekan lalu.
Setahun kemudian, dengan modal Rp 100.000 hasil menabung selama bertahun-tahun, Soedarpo mulai berusaha di bidang impor kertas, barang-barang besi, dan peralatan kantor. Usaha perniagaan…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…