Umar Kayam: "saya Merasa Jadi Bagian Dari Dagelan"

Edisi: 22/27 / Tanggal : 1999-03-08 / Halaman : 30 / Rubrik : WAW / Penulis : Adam, Asvi Warman


UMAR Kayam adalah gambar multidimensi. Dilihat sepintas, boleh jadi menarik, dipandang lama-lama, yang lebih menarik ternyata ada di bawah permukaan. Di dalam diri pria ini, yang sedang menyongsong hari jadinya yang ke-67, berpadu berlapis-lapis matra yang kualitasnya telah teruji oleh waktu, pengalaman, dan juga, mestinya, kematangan.

Kayam adalah novelis, penulis cerpen, akademisi, birokrat, budayawan, sastrawan, dan tak lupa, bintang film. Pada masa-masa fisiknya masih lebih sehat, ia juga populer sebagai "seminaris"--julukan untuk orang yang laris menjadi juru ceramah di seminar. Toh, tetap saja sulit menentukan sisi yang lebih menonjol dari doktor keluaran Cornell University ini.

"Saya sendiri enggak ngerti. Wong, saya cuma ingat saya ini Umar Kayam," ujarnya sembari tertawa lebar saat memberikan wawancara kepada wartawan TEMPO I G.G. Maha Adi, Wicaksono, Hermien Y. Kleden, serta fotografer Gatot Sri Widodo, pekan lalu.

Kayam datang dari keluarga besar. Ia lahir nomor satu, disusul sembilan orang adik. Kedua orang tuanya guru. "Mbah saya juga guru. Menjadi guru itu sudah keturunan di keluarga kami," katanya. Ia tumbuh dewasa dalam sebuah keluarga "sangat Jawa", yang mementingkan harmoni dan religi--kendati ia sendiri tak fasih untuk sekadar membaca Surat Al Alaq dalam Alquran. Guru besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) ini justru mengenal Alquran lewat buku berbahasa Belanda seperti De Heilige Qur'an. Ia mahir berbahasa Belanda dan Inggris serta hampir sempurna menguasai idiom-idiom Jawa.

Kumpulan kolomnya di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta--kemudian terbit sebagai trilogi Mangan Ora Mangan, Sugih Tanpa Banda, dan Madhep Ngalor Sugih-Madhep Ngidul Sugih--melukiskan betapa "Jawa"-nya sosok Pak Ageng, sang tokoh utama, yang oleh banyak orang diyakini sebagai personifikasi Umar Kayam sendiri. Personifikasi seorang priayi ageng yang dekat dengan wong cilik tanpa perlu kehilangan perbawa, sarkastis terhadap diri sendiri, tapi secara tak langsung "mengangkat" diri dengan sikap tersebut, berusaha menjaga harmoni di tengah keragaman hidup, dan tak canggung manakala harus "melompat" dari gaya hidup sederhana di sebuah kota pedalaman ke ibu kota negara yang serba kosmopolitan.

Ketiga buku itu melukiskan dengan ringan (dan kaya) cara Umar Kayam--jika sang pengarang boleh diyakini sebagai tokoh utama cerita--menjalani setiap dimensi hidupnya dengan nikmat dan prasaja (bersahaja).

Ayah dua putri ini juga tak mungkin dipisahkan dari dunia sastra dan budaya, tempat ia meninggalkan jejak-jejak panjang. Salah satu cerpennya, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan (1972), memenangkan cerpen terbaik majalah sastra Horison pada 1968. Ia juga melahirkan novelet Bawuk (ditulisnya semasa ia menjadi Dirjen RTF pada awal Orde Baru), Sri Sumarah, serta novel Kimono Biru, yang ditulisnya di Hawaii.

Pada…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…