Kepergian Sang Romo
Edisi: 20/27 / Tanggal : 1999-02-22 / Halaman : 36 / Rubrik : OBI / Penulis : Chudori, Leila S. , Fadjri, R. , Ismail, Mustafa
KEKERASAN tidak dapat dikalahkan oleh kekerasan yang hanya menelurkan kekerasan baru tanpa henti," demikian tulis Y.B. Mangunwijaya kepada warga Kedungombo, warga yang selalu dibelanya selama hidupnya. Di dalam suratnya tertanggal 28 Januari tahun ini, Romo Mangun, demikian sapaan akrabnya, tetap memperlihatkan dukungannya atas protes warga Kedungombo dan mengharapkan kekerasan yang dialaminya dijawab dengan kelembutan hati.
Ini adalah salah satu dari beberapa surat Romo Mangun yang terakhir sebelum ia mengembuskan napasnya yang terakhir di Ruang Puri Hotel Le Meridien, setelah menyampaikan makalah dalam Simposium Buku "Meningkatkan Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru Indonesia", Rabu pekan silam.
Bentuk kekerasan yang dibalas dengan kelembutan hati agaknya adalah sebuah gambaran kehidupan Romo Mangun, yang punya pengalaman hidup penuh warna. Lahir di Ambarawa, 6 Mei 1929, sebagai putra sulung dari 12 bersaudara anak pasangan Yulinus Sumadi Mangunwidjaja, Romo Mangun--yang nama lengkapnya adalah Yusuf Bilyarta Mangunwijaya--pernah mengenyam pendidikan di Rheinsche Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman Barat. Pada 1966, ia menjadi dosen luar biasa Jurusan Arsitektur Universitas Gadjah Mada, dan kemudian dikenal sebagai arsitek bebas Keuskupan Agung Semarang.
Sebelumnya, ia pernah merasakan sebuah dunia yang disebut sebagai "dunia yang keras", yaitu militer. Setamat SMP di Yogyakarta, ia sempat tergabung pada Tentara Pelajar dalam batalyon Mayor Soeharto, bekas Presiden Indonesia. Tugasnya selaku tentara memang tak terlalu heroik, yakni sebagai sopir untuk mengantar makanan buat sang Mayor. Tapi, dengan rendah hati, ia pun mengaku tak pernah merasa sebagai pahlawan. Justru rakyatlah yang layak mendapat predikat pahlawan. "Bila Belanda datang, kami lari, bukan karena kami pengecut, melainkan karena…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Melukis itu Seperti Makan, Katanya
1994-04-23Pelukis nashar yang "tiga non" itu meninggal pekan lalu. tampaknya sikap hidupnya merupakan akibat perjalanan…
Pemeran Segala Zaman
1994-04-23Pemeran pembantu terbaik festival film indonesia 1982 itu meninggal, pekan lalu. ia contoh, seniman rakyat…
Mochtar Apin yang Selalu Mencari
1994-01-15Ia mungkin perupa yang secara konsekuen menerapkan konsep modernisme, selalu mencari yang baru. karena itu,…