Kisah Seorang ’max Havelaar’ Arsitek

Edisi: 03/36 / Tanggal : 2007-03-18 / Halaman : 59 / Rubrik : LAY / Penulis : Suyono, Seno Joko , Rosyid, Imron , Sohirin


Oleh pemerintah Hindia Belanda ia dianggap angry young man karena keberpihakannya pada orang bumiputra. Ia ingin melihat Indonesia merdeka. Sayang, harapannya tak tercapai. Ketika Jepang masuk, ia ditawan dan mati secara tragis di kamp interniran di Cimahi.

LAKI-LAKI asal Belanda itu diam mematung di depan pintu gerbang Pasar Gede Harjonagara, Solo. Dia seperti mencari sesuatu di antara tembok-tembok yang bercat kuning gading. Penampilannya necis, membuat para pedagang heran. Dia pun sesekali tersenyum kepada mbok-mbok penjual.

Mata cokelatnya menyiratkan ada sesuatu kala memandang bangunan itu. Mungkin rasa bangga. Charles Karsten, 40 tahun, laki-laki itu, Sabtu pertengahan Januari lalu, sedang menziarahi salah satu ”warisan” mendiang kakeknya, Herman Thomas Karsten (1884–1945). Meski sudah bukan bangunan asli karena dua kali terbakar, dua kali dibangun lagi, Pasar Gede yang terletak di jantung Kota Solo itu masih tetap mempertahankan bentuk aslinya.

Kehadiran Charles di Solo untuk menghadiri hari ulang tahun Pasar Gede ke-77. Pasar ini dibangun pada 12 Januari 1930 oleh kakeknya atas pesanan Pakubuwono X (1893–1939). Berdiri di depan Pasar Gede yang arsitekturnya merupakan perpaduan unsur Eropa dengan lokal Jawa membuat ia merenung: bagaimana sang kakek dahulu dikenal sebagai arsitek yang suka mengkritik keras pemindahan corak bangunan Nederland ke negeri Hindia Belanda.

Pintu masuk pasar itu memiliki kanopi cukup lebar bertulisan Pasar Gede. Hurufnya bergaya art nouveau. Masuk ke pasar, kemudian tersaji sebuah ruang terbuka. Los pasar membujur dari utara dan ke timur. Atap pasar berbentuk limas. Untuk kantor pasar, Karsten memilih jendela pipih vertikal. Tapi pada bagian atas bentuknya menjadi setengah lingkaran neoklasik dengan atap berbentuk joglo.

”Pasar Gede merupakan kelanjutan pasar yang dulunya sudah ada jauh sebelum Keraton Kartasura pindah ke Surakarta. Dulu disebut pasar candi karena memang ada bangunan candinya di tempat itu,” tutur Sudarmono, se-jarawan Universitas Negeri Sebelas Maret. Sebelum dibangun seperti sekarang ini, Pasar Gede memiliki latar depan rel kereta api. Kini rel tersebut tak berbekas.

Widya Wijayanti, Ketua Ikatan Arsitek Indonesia Jawa Tengah, melihat ciri khas karya Karsten adalah nilai kemanusiaannya yang kental. ”Dia tidak pernah melupakan kepentingan orang-orang kecil, sesuatu yang jarang ditemui pada orang Belanda totok masa itu,” katanya. Mengetahui bagaimana beratnya pekerjaan buruh gendong, Karsten misalnya membuat lantai los pasar cukup tinggi agar si buruh tak perlu jongkok untuk mengangkat barang. Kini meski Pasar Gede sudah dua kali direnovasi, kuli gendong masih bisa merasakan kenyamanan desain tersebut.

Udara juga dapat mengalir dengan leluasa. Sirkulasi dan ventilasi membuat cahaya masuk di dalam ruangan secara tidak langsung, membuat udara tak panas. ”Bahkan Karsten juga memperhatikan perilaku burung kecil yang suka membuat sarang di bagian atap bangunan, agar nantinya bisa terhindar dari kotoran burung,” tutur Widya.

***

Sumbangsih Karsten dalam menata dan memberikan bangunan-bangunan ”penanda” bagi kota-kota kita sering dilupakan. Padahal perjalanan kearsitekannya tersebar di 19 kota besar di Jawa, dari Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, hingga…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Saat Perempuan Tak Berdaya
2007-12-16

Tidak ada senyum, apalagi keceriaan. tidak ada pula musik yang terdengar di film ini. dari…

P
Perjamuan Da Vinci
2006-05-28

Bermula dari novel, lalu bermetamorfosis ke dalam film. di kedua bentuk itu, the da vinci…

Y
YANG KONTROVERSIAL
2006-05-28

Dan brown mengemukakan teori bahwa yesus mempercayai maria magdalena sebagai pemangku ajaran kristiani yang utama,…